Ustadz di Tarim, Hadramaut, Yaman, mereka sangat dihormati oleh masyarakat, apalagi oleh para murid atau santri-santrinya. Suatu misal, ketika seorang ustadz berjalan melewati sekerumunan para santri, maka mereka serentak menghentikan pembicaraan atau kesibukan mereka guna menghormat pada ustadz yang lewat itu. Para santri berebut berjabatan tangan pada sang ustadz. Ustadz benar-benar diposisikan sebagai sosok yang dihormati oleh santri-santrinya. Penghormatan itu, tampak dilakukan dengan spontan dan tulus. Apa yang mereka lakukan terasa sekali didorong oleh sebuah kecintaan terhadap guru, dan bukan hal lain. Di Indonesia fenomena seperti itu pada umumnya dapat dilihat di pesantrena. Santri di pesantren modern, yang lembaga itu telah membuka program sekolah umum, sekalipun masih ada penghormatan seperti itu, tetapi sedikit banyak tampak sudah mulai berubah.
Memang di sana tidak sembarang orang dapat melakukan peran sebagai guru. Para santri, tidak sembarang memilih seorang ustadz. Ustadz yang dikenal alim, banyak didatangi para santri, dan begitu juga sebaliknya. Memang yang saya ceritakan sebagai guru di sini adalah para pengajar di lembaga pendidikan agama, jika di Indonesia semacam di pesantren. Peran mereka sebagai guru bukan didasarkan semata-mata pada ijazah yang telah diraih, melainkan didasarkan pada tingkat ke aliman atau kedalaman ilmunya. Guru hingga dianggap mencapai kealiman tertentu melewati sebuah proses panjang. Pengakuan itu datang bukan dari para santri, melainkan jutru dari para ustadz seniornya. Seseorang dianggap alim bukan hasil penilaian para murid, melainkan didasarkan dari penilaian guru-guru yang lebih senior. Ustadz tidak dinilai oleh para santri dari cara mengajarnya, sehingga disebut ustadz yang mengajarnya enak atau tidak enak, menarik atau tidak menarik. Tetapi, yang tahu seseorang itu alim atau kurang alim, dari penilaian orang yang memiliki otoritas keilmuan. Atas dasar proses seperti itu, maka sang ustadz akan mendapatkan semacam legitimasi dari pihak yang sebenarnya kompeten menilai.
Pelajaran diberikan di masjid atau di ruang-ruang belajar. Biasanya mereka hanya duduk di atas karpet tanpa meja kursi. Meja kecil hanya disediakan untuk ustadz yang mengajar itu. Ustadz juga duduk di karpet sejajar dengan tempat duduk para ustadz. Para santri yang belajar di Tarim, Hadramaut, duduk melingkar mengelilingi tempat duduk sang guru secara rapat. Seolah-olah antara tempat duduk ustadz dan santri tidak ada batas. Demikian pula, antara sesama santri duduk dengan merapat. Saya ketika berkunjung ke Tarim, Hadramaut, mengikuti para santri belajar, melihat bahwa ketika masih ada tempat kosong, kurang rapat, maka guru akan memulai memberikan pelajaran meminta agar tempat yang kosongt segera diisi. Dilihat dari cara duduknya saja, sudah menggambarkan betapa hubungan ustadz dengan santri sedemikian dekat. Akan tetapi, kedekatan ustadz dengan santri sama sekali tidak menjadikan para santri kurang tawadhu� pada ustadz. Para santri sangat tawadhu� pada ustadznya.
Para santri atau murid belajar menggunakan kitab acuan tertentu. Beberapa kitab itulah yang dijadikan pegangan dan bahan kajian. Di masjid, biasanya dilakukan pada setiap selesai sholat berjama�ah, beberapa santri membentuk kelompok yang disebut halaqoh, dipimpin oleh seorang ustadz mengkaji kitab-kitab tertentu. Para ustadz yang mengajar berapa di bawah bimbingan dan pengawasan Syekh yang lebih tinggi. Sama dengan di perguruan tinggi di Indonesia. Seorang guru besar dibantu oleh para dosen yunior. Para guru yunior pada waktu-waktu tertentu juga masih relajar ke syekhnya. Sehingga, di lembaga pendidikan agama di sana, terbentuk comunitas menyerupai kerucut, dimulai pada posisi yang paling atas adalah para Syekh, lalu di bawahnya para ustadz dan para ustadz ini membina para santri-santrinya.
Dilihat dari sisi fasilitas dan pendanaan pendidikan tidak begitu istimewa. Perpustakaan juga tidak terlalu berlebih-lebihan. Buku-buku yang ada, mungkin juga tidak lebih baik bilamana dibandingkan dengan perpustakaan lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Bahkan beberapa perpustakaan di Indonesia, pada umumnya lebih baik. Demikian pula, fasilitas lainnya. Akan tetapi, yang agaknya perlu dikaji lebih lanjut, kualitas hasil pendidikan di sana diakui lebih unggul. Buktinya, setiap tahun santri dan mahasiswa dari Indonesia ke Tarim, Hadramaut selalu meningkat jumlahnya. Kenyataan ini menggambarkan, betapa sebagian para tokoh Islam Indonesia mengakui kualitas hasil pendidikan Islam di negeri itu. Padahal kesejahteraan guru di Hadramaut ini, tampaknya juga tidak terlalu tinggi bilamana dibanding dengan guru-guru di Indonesia.
Belajar agama dengan model halaqoh sebagaimana saya lihat di Tarim, Hadramaut, juga saya lihat di masjid-masjid di Qum, Iran. Para jama�ah selesai sholat di masjid, tidak pulang tetapi segera membentuk halaqoh-halaqoh untuk melakukan kajian kitab-kitab tertentu. Masing-masing halaqoh dipimpin oleh seorang guru, diikuti oleh pululan anggota halaqoh. Para ulama� di Qum sangat dihormati pula. Para ulama� biasanya mengenakan pakaian tertentu, yang dengan mudah dibedakan dengan orang biasa. Mereka biasanya mengenakan baju jubah, berwarna hitam atau coklat lengkap dengan surbannya. Para ulama� ini, tidak saja bersedia menjadi tutor dalam halaqoh-halaqoh, melainkan juga bersedia di mana-saja menjelaskan berbagai persoalan agama hing� di pinggir jalan sekalipun. Misalnya, seorang yang lagi berjalan kaki, kemudian ketemu seorang ulama, maka tidak mengana seorang tersebut meminta ulama� berhenti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sudah barang tentu, seorang ulama tersebut akan melayani dengan penuh kesabaran. Suasana keilmuan seperti itulah kemudian Qum diklain oleh masyarakatnya sebagai madinatul ilmi.
Keberhasilan pendidikan di dua negeri yang saya lihat tersebut, tampaknya faktor guru merupakan kunci utamanya. Berbicara pendidikan tidak serta merta dikaitkan dengan pembiayaan. Sekalipun biaya selalu penting, tetapi tidak dipandang sebagai faktor penentu keberhasilan pendidikan. Kunci keberhasilan pendidikan di sana dianggap terletak pada faktor kualitas gurunya. Sedangkan kualitas di sini, bukan juga semata-mata dilihat dari keluasan ilmu yang disandang, melainkan ada faktor lain seperti keikhlasan, dedikasi, integritas dan kesanggupan untuk mencitai ilmu, termasuk juga orang-orang yang menyandang dan memelihara ilmu pengetahuan. Jabatan guru tidak dijadikan sebagai jalan untuk mencari kehidupan. Posisi guru dibedakan dengan posisi pekerja sebagai upaya mendapatkan rizki. Guru memang selalu memerlukankecukupan kebutuhan hidup. Tetapi di sana berhasil dibangun sebuah pandangan bahwa menjadi guru bukan dimaksudkan untuk mencari kehidupan, melainkan didorong oleh kecintaan terhadap ilmu sebagai bagian dari kecintaannya terhadap agama yang dipeluknya. Mungkin suasana batin seperti itulah yang menjadikan kualitas pendidikan di negeri itu bisa diwujudkan. Sehingga, proses pendidikan yang dijalani oleh para santri, berhasil melahirkan kader-kader ulama� sebagaimana yang diharapkan. Allahu a�lam
Memang di sana tidak sembarang orang dapat melakukan peran sebagai guru. Para santri, tidak sembarang memilih seorang ustadz. Ustadz yang dikenal alim, banyak didatangi para santri, dan begitu juga sebaliknya. Memang yang saya ceritakan sebagai guru di sini adalah para pengajar di lembaga pendidikan agama, jika di Indonesia semacam di pesantren. Peran mereka sebagai guru bukan didasarkan semata-mata pada ijazah yang telah diraih, melainkan didasarkan pada tingkat ke aliman atau kedalaman ilmunya. Guru hingga dianggap mencapai kealiman tertentu melewati sebuah proses panjang. Pengakuan itu datang bukan dari para santri, melainkan jutru dari para ustadz seniornya. Seseorang dianggap alim bukan hasil penilaian para murid, melainkan didasarkan dari penilaian guru-guru yang lebih senior. Ustadz tidak dinilai oleh para santri dari cara mengajarnya, sehingga disebut ustadz yang mengajarnya enak atau tidak enak, menarik atau tidak menarik. Tetapi, yang tahu seseorang itu alim atau kurang alim, dari penilaian orang yang memiliki otoritas keilmuan. Atas dasar proses seperti itu, maka sang ustadz akan mendapatkan semacam legitimasi dari pihak yang sebenarnya kompeten menilai.
Pelajaran diberikan di masjid atau di ruang-ruang belajar. Biasanya mereka hanya duduk di atas karpet tanpa meja kursi. Meja kecil hanya disediakan untuk ustadz yang mengajar itu. Ustadz juga duduk di karpet sejajar dengan tempat duduk para ustadz. Para santri yang belajar di Tarim, Hadramaut, duduk melingkar mengelilingi tempat duduk sang guru secara rapat. Seolah-olah antara tempat duduk ustadz dan santri tidak ada batas. Demikian pula, antara sesama santri duduk dengan merapat. Saya ketika berkunjung ke Tarim, Hadramaut, mengikuti para santri belajar, melihat bahwa ketika masih ada tempat kosong, kurang rapat, maka guru akan memulai memberikan pelajaran meminta agar tempat yang kosongt segera diisi. Dilihat dari cara duduknya saja, sudah menggambarkan betapa hubungan ustadz dengan santri sedemikian dekat. Akan tetapi, kedekatan ustadz dengan santri sama sekali tidak menjadikan para santri kurang tawadhu� pada ustadz. Para santri sangat tawadhu� pada ustadznya.
Para santri atau murid belajar menggunakan kitab acuan tertentu. Beberapa kitab itulah yang dijadikan pegangan dan bahan kajian. Di masjid, biasanya dilakukan pada setiap selesai sholat berjama�ah, beberapa santri membentuk kelompok yang disebut halaqoh, dipimpin oleh seorang ustadz mengkaji kitab-kitab tertentu. Para ustadz yang mengajar berapa di bawah bimbingan dan pengawasan Syekh yang lebih tinggi. Sama dengan di perguruan tinggi di Indonesia. Seorang guru besar dibantu oleh para dosen yunior. Para guru yunior pada waktu-waktu tertentu juga masih relajar ke syekhnya. Sehingga, di lembaga pendidikan agama di sana, terbentuk comunitas menyerupai kerucut, dimulai pada posisi yang paling atas adalah para Syekh, lalu di bawahnya para ustadz dan para ustadz ini membina para santri-santrinya.
Dilihat dari sisi fasilitas dan pendanaan pendidikan tidak begitu istimewa. Perpustakaan juga tidak terlalu berlebih-lebihan. Buku-buku yang ada, mungkin juga tidak lebih baik bilamana dibandingkan dengan perpustakaan lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Bahkan beberapa perpustakaan di Indonesia, pada umumnya lebih baik. Demikian pula, fasilitas lainnya. Akan tetapi, yang agaknya perlu dikaji lebih lanjut, kualitas hasil pendidikan di sana diakui lebih unggul. Buktinya, setiap tahun santri dan mahasiswa dari Indonesia ke Tarim, Hadramaut selalu meningkat jumlahnya. Kenyataan ini menggambarkan, betapa sebagian para tokoh Islam Indonesia mengakui kualitas hasil pendidikan Islam di negeri itu. Padahal kesejahteraan guru di Hadramaut ini, tampaknya juga tidak terlalu tinggi bilamana dibanding dengan guru-guru di Indonesia.
Belajar agama dengan model halaqoh sebagaimana saya lihat di Tarim, Hadramaut, juga saya lihat di masjid-masjid di Qum, Iran. Para jama�ah selesai sholat di masjid, tidak pulang tetapi segera membentuk halaqoh-halaqoh untuk melakukan kajian kitab-kitab tertentu. Masing-masing halaqoh dipimpin oleh seorang guru, diikuti oleh pululan anggota halaqoh. Para ulama� di Qum sangat dihormati pula. Para ulama� biasanya mengenakan pakaian tertentu, yang dengan mudah dibedakan dengan orang biasa. Mereka biasanya mengenakan baju jubah, berwarna hitam atau coklat lengkap dengan surbannya. Para ulama� ini, tidak saja bersedia menjadi tutor dalam halaqoh-halaqoh, melainkan juga bersedia di mana-saja menjelaskan berbagai persoalan agama hing� di pinggir jalan sekalipun. Misalnya, seorang yang lagi berjalan kaki, kemudian ketemu seorang ulama, maka tidak mengana seorang tersebut meminta ulama� berhenti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sudah barang tentu, seorang ulama tersebut akan melayani dengan penuh kesabaran. Suasana keilmuan seperti itulah kemudian Qum diklain oleh masyarakatnya sebagai madinatul ilmi.
Keberhasilan pendidikan di dua negeri yang saya lihat tersebut, tampaknya faktor guru merupakan kunci utamanya. Berbicara pendidikan tidak serta merta dikaitkan dengan pembiayaan. Sekalipun biaya selalu penting, tetapi tidak dipandang sebagai faktor penentu keberhasilan pendidikan. Kunci keberhasilan pendidikan di sana dianggap terletak pada faktor kualitas gurunya. Sedangkan kualitas di sini, bukan juga semata-mata dilihat dari keluasan ilmu yang disandang, melainkan ada faktor lain seperti keikhlasan, dedikasi, integritas dan kesanggupan untuk mencitai ilmu, termasuk juga orang-orang yang menyandang dan memelihara ilmu pengetahuan. Jabatan guru tidak dijadikan sebagai jalan untuk mencari kehidupan. Posisi guru dibedakan dengan posisi pekerja sebagai upaya mendapatkan rizki. Guru memang selalu memerlukankecukupan kebutuhan hidup. Tetapi di sana berhasil dibangun sebuah pandangan bahwa menjadi guru bukan dimaksudkan untuk mencari kehidupan, melainkan didorong oleh kecintaan terhadap ilmu sebagai bagian dari kecintaannya terhadap agama yang dipeluknya. Mungkin suasana batin seperti itulah yang menjadikan kualitas pendidikan di negeri itu bisa diwujudkan. Sehingga, proses pendidikan yang dijalani oleh para santri, berhasil melahirkan kader-kader ulama� sebagaimana yang diharapkan. Allahu a�lam
0 komentar:
Posting Komentar