Dalam sebuah ceramah singkat ba�da dhuhur, Dr.Muhammad Dja�far mengajak berbicara kepada jama�ah tentang orang penting. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya semua orang bercita-cita menjadi orang penting. Tidak ada di dunia ini orang yang mau disebut sebagai orang yang tidak berguna. Bahkan umpama seseorang memiliki keluarga, teman atau keturunan berwatak kurang baik pun, mereka akan ditutup-tutupi. Lebih dari itu, menjadi tetangga orang jelek saja, siapapun pun tidak mau. Sebaliknya, orang menginginkan dikenal sebagai orang baik, terhormat dan juga orang penting.
Lalu, siapa sesunguhnya mereka yang disebut sebagai orang penting itu. Untuk menjawab pertanyaan itu, Guru Besar di Fakultas Ekonomi ini, mengajak para jama�ah memperhatikan sebuah kisah, berupa dialog antara kyai dengan santrinya. Melalui dialog itu, kyai menanyakan kepada santrinya, siapa sesungguhnya yang disebut sebagai orang penting itu. Berkali-kali santri menjawab pertanyaan kyainya, dan selalu saja dikatakan bahwa jawaban itu salah. Santri menjawab bahwa yang disebut orang penting adalah presiden. Jawaban itu disalahkan oleh kyai. Santri memperbaiki jawabannya, bahwa orang penting itu adalah orang kaya. Sebab, orang kaya bisa membantu orang miskin. Jawaban itu juga dianggap salah oleh kyai. Santri ngajukan alternatif lain, bahwa orang penting itu adalah orang pintar. Ternyata oleh kyai, masih dinilai salah. Terakhir, karena semua jawaban itu menurut kyai masih keliru, maka santri menjawab seadanya, bahwa di dunia ini orang yang paling penting, tidak ada lain kecuali kyai. Jawaban itu pun ternyata masih dianggap salah pula oleh kyai.
Para santri kemudian angkat tangan, mengakui kebingungannya mencari jawaban atas pertanyaan kyai itu. Satri kemudian berbalik bertanya kepada kyainya, jawaban apa sesungguhnya yang paling tepat. Pertanyaan itu dijawab oleh kyai, bahwa orang yang dipandang paling penting itu adalah orang yang selalu menganggap penting keberadaan orang lain. Kyai menjelaskan bahwa dalam kehidupan ini, jika setiap orang menganggap keberadaan orang lain penting, maka akan terjadi saling menghargai di antara sesama, saling mencintai, dan kemudian saling bekerjasama. Hubungan antara sesama manusia menjadi bagaikan bangunan rumah, antara bagian satu dengan bagian lainnya menjadi saling memperkokoh. Dengan begitu maka tidak akan terjadi persaingan, konflik, apalagi saling menjatuhkan sebagaimana yang banyak terjadi saat ini.
Masih menurut penjelasan kyai dalam kisah itu, di zaman sekarang ini, tidak banyak orang yang bisa menganggap bahwa keberadaan orang lain selalu penting. Sebaliknya, kebanyakan orang mengangap bahwa orang lain itu adalah pesaing, pengganggu, merugikan dan bahkan tidak jarang diposisikan sebagai musuh. Kyai mengajak santrinya mengamati bagaimana orang sehari-hari saat ini bersaing. Misalnya, bersaing menjadi lurah, calon legislatif, walikota, bupati, gubernur, menteri dan juga presiden. Persaingan itu, kata kyai juga cukup dahsyat lagi pada kegiatan ekonomi. Persaingan itu selalu melahirkan anggapan bahwa orang lain sebagai pengganggu, ancaman, bahkan juga musuh. Kata kyai, banyak orang lupa, bahwa setiap kemajuan hanya akan diraih oleh mereka yang mau bekerjasama. Sedangkan kerjasama hanya akan terjadi jika masing-masing pihak menganggap penting keberadaan orang lain.
Orang yang berpandangan seperti itu, pada zaman sekarang ini tidak banyak jumlahnya. Sehingga kehidupan ini selalu memerlukan contoh atau tauladan. Saat sekarang, kata kyai memerlukan tauladan bagaimana membangun kehidupan yang rukun dan damai. Masing-masing pihak saling menghargai secara proporsional. Karena orang yang berpandangan positif itu amat terbatas jumlahnya, maka menurut pandangan kyai, menjadi orang yang paling penting.
Untuk membenarkan pendapat kyai dalam kisah tersebut, Dr.M.Dja�far kemudian mensitir hadits Nabi, khoirun naas anfauhum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Hadits ini sering diungkap di berbagai tempat, misalnya di masjid, di forum-forum pengajian, pengarahan atasan terhadap bawahan dan lain-lain. Namun dalam kenyataan, belum terlalu banyak orang yang mengamalkan. Sebaliknya, kebanyakan orang baru pada tingkat memperjuangkan dirinya sendiri. Bahkan tidak jarang, sebatas memperjuangkan dirinya sendiri dan keluarganya pun, tidak sedikit orang harus menempuh cara-cara yang kurang terpuji.
Hadits tersebut di muka, jika ditarik pada wilayah yang lebih luas, akan menjadi berbunyi bahwa sebaik-baik komunitas, organisasi, dan bahkan juga negera adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi komunitas, organisasi dan juga negara lainnya. Secara lebih konkrit, organisasi NU misalnya, akan dipandang berhasil menjadi sebaik-baik organisasi, jika ia tidak saja sebatas memberi manfaat bagi warga NU, tetapi juga memberi manfaat bagi organisasi lain, misalnya Muhammadiyah, Persis, al wasliyah dan lain-lain. Demikian pula Muhammadiyah akan dikatakan sebagai khoir al jam�iyah, manakala organisasi ini tidak saja memberi manfaat bagi para anggotanya, yaitu warga Muhammadiyah, tetapi juga kepada warga NU, al Wasliyah, Nahdlatul Wathan dan lain-lain. Seterusnya, negeri ini menjadi hebat, atau khoir al bilaad, manakala negeri tidak saja berhasil memakmurkan bangsa Indonesia, tetapi juga tatkala suatu saat berhasil memakmurkan negeri-negeri lainnya. Demikian pula seterusnya, dalam tataran organisasi politik, seperti PKB, PAN,PPP, Golkar, Partai Demokrat, PDIP dan seterusnya, masing-masing organisasi politik tersebut menjadi berprestasi paling unggul, manakala masing-masing saling memberi manfaat.
Jika pandangan tersebut berhasil dikembangkan, dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan nyata, maka negeri ini akan semakin indah. Bangsa ini diakui berwarna warni, Bhineka Tunggal Eka, akan tetapi umpama semuanya saling memberi manfaat, saling membesarkan dan saling mengharumkan namanya, maka akan tampak keindahannya. Akan tetapi, jika sebaliknya, yaitu saling mengkritik atau saling menunjukkan kegagalannya, apalagi saling menjatuhkan, maka silahkan diprediksi sendiri, bagaimana akibatnya. Allahu a�lam.
Lalu, siapa sesunguhnya mereka yang disebut sebagai orang penting itu. Untuk menjawab pertanyaan itu, Guru Besar di Fakultas Ekonomi ini, mengajak para jama�ah memperhatikan sebuah kisah, berupa dialog antara kyai dengan santrinya. Melalui dialog itu, kyai menanyakan kepada santrinya, siapa sesungguhnya yang disebut sebagai orang penting itu. Berkali-kali santri menjawab pertanyaan kyainya, dan selalu saja dikatakan bahwa jawaban itu salah. Santri menjawab bahwa yang disebut orang penting adalah presiden. Jawaban itu disalahkan oleh kyai. Santri memperbaiki jawabannya, bahwa orang penting itu adalah orang kaya. Sebab, orang kaya bisa membantu orang miskin. Jawaban itu juga dianggap salah oleh kyai. Santri ngajukan alternatif lain, bahwa orang penting itu adalah orang pintar. Ternyata oleh kyai, masih dinilai salah. Terakhir, karena semua jawaban itu menurut kyai masih keliru, maka santri menjawab seadanya, bahwa di dunia ini orang yang paling penting, tidak ada lain kecuali kyai. Jawaban itu pun ternyata masih dianggap salah pula oleh kyai.
Para santri kemudian angkat tangan, mengakui kebingungannya mencari jawaban atas pertanyaan kyai itu. Satri kemudian berbalik bertanya kepada kyainya, jawaban apa sesungguhnya yang paling tepat. Pertanyaan itu dijawab oleh kyai, bahwa orang yang dipandang paling penting itu adalah orang yang selalu menganggap penting keberadaan orang lain. Kyai menjelaskan bahwa dalam kehidupan ini, jika setiap orang menganggap keberadaan orang lain penting, maka akan terjadi saling menghargai di antara sesama, saling mencintai, dan kemudian saling bekerjasama. Hubungan antara sesama manusia menjadi bagaikan bangunan rumah, antara bagian satu dengan bagian lainnya menjadi saling memperkokoh. Dengan begitu maka tidak akan terjadi persaingan, konflik, apalagi saling menjatuhkan sebagaimana yang banyak terjadi saat ini.
Masih menurut penjelasan kyai dalam kisah itu, di zaman sekarang ini, tidak banyak orang yang bisa menganggap bahwa keberadaan orang lain selalu penting. Sebaliknya, kebanyakan orang mengangap bahwa orang lain itu adalah pesaing, pengganggu, merugikan dan bahkan tidak jarang diposisikan sebagai musuh. Kyai mengajak santrinya mengamati bagaimana orang sehari-hari saat ini bersaing. Misalnya, bersaing menjadi lurah, calon legislatif, walikota, bupati, gubernur, menteri dan juga presiden. Persaingan itu, kata kyai juga cukup dahsyat lagi pada kegiatan ekonomi. Persaingan itu selalu melahirkan anggapan bahwa orang lain sebagai pengganggu, ancaman, bahkan juga musuh. Kata kyai, banyak orang lupa, bahwa setiap kemajuan hanya akan diraih oleh mereka yang mau bekerjasama. Sedangkan kerjasama hanya akan terjadi jika masing-masing pihak menganggap penting keberadaan orang lain.
Orang yang berpandangan seperti itu, pada zaman sekarang ini tidak banyak jumlahnya. Sehingga kehidupan ini selalu memerlukan contoh atau tauladan. Saat sekarang, kata kyai memerlukan tauladan bagaimana membangun kehidupan yang rukun dan damai. Masing-masing pihak saling menghargai secara proporsional. Karena orang yang berpandangan positif itu amat terbatas jumlahnya, maka menurut pandangan kyai, menjadi orang yang paling penting.
Untuk membenarkan pendapat kyai dalam kisah tersebut, Dr.M.Dja�far kemudian mensitir hadits Nabi, khoirun naas anfauhum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Hadits ini sering diungkap di berbagai tempat, misalnya di masjid, di forum-forum pengajian, pengarahan atasan terhadap bawahan dan lain-lain. Namun dalam kenyataan, belum terlalu banyak orang yang mengamalkan. Sebaliknya, kebanyakan orang baru pada tingkat memperjuangkan dirinya sendiri. Bahkan tidak jarang, sebatas memperjuangkan dirinya sendiri dan keluarganya pun, tidak sedikit orang harus menempuh cara-cara yang kurang terpuji.
Hadits tersebut di muka, jika ditarik pada wilayah yang lebih luas, akan menjadi berbunyi bahwa sebaik-baik komunitas, organisasi, dan bahkan juga negera adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi komunitas, organisasi dan juga negara lainnya. Secara lebih konkrit, organisasi NU misalnya, akan dipandang berhasil menjadi sebaik-baik organisasi, jika ia tidak saja sebatas memberi manfaat bagi warga NU, tetapi juga memberi manfaat bagi organisasi lain, misalnya Muhammadiyah, Persis, al wasliyah dan lain-lain. Demikian pula Muhammadiyah akan dikatakan sebagai khoir al jam�iyah, manakala organisasi ini tidak saja memberi manfaat bagi para anggotanya, yaitu warga Muhammadiyah, tetapi juga kepada warga NU, al Wasliyah, Nahdlatul Wathan dan lain-lain. Seterusnya, negeri ini menjadi hebat, atau khoir al bilaad, manakala negeri tidak saja berhasil memakmurkan bangsa Indonesia, tetapi juga tatkala suatu saat berhasil memakmurkan negeri-negeri lainnya. Demikian pula seterusnya, dalam tataran organisasi politik, seperti PKB, PAN,PPP, Golkar, Partai Demokrat, PDIP dan seterusnya, masing-masing organisasi politik tersebut menjadi berprestasi paling unggul, manakala masing-masing saling memberi manfaat.
Jika pandangan tersebut berhasil dikembangkan, dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan nyata, maka negeri ini akan semakin indah. Bangsa ini diakui berwarna warni, Bhineka Tunggal Eka, akan tetapi umpama semuanya saling memberi manfaat, saling membesarkan dan saling mengharumkan namanya, maka akan tampak keindahannya. Akan tetapi, jika sebaliknya, yaitu saling mengkritik atau saling menunjukkan kegagalannya, apalagi saling menjatuhkan, maka silahkan diprediksi sendiri, bagaimana akibatnya. Allahu a�lam.
0 komentar:
Posting Komentar