Suatu ketika, saya kedatangan kyai. Sudah biasa, tokoh agama ini datang untuk membicarakan tentang pengembangan pendidikan pesantrennya. Atas kedatangan itu, saya selalu menyambut dengan senang hati, apalagi diajak berbicara tentang pendidikan. Tentu sebenarnya, ide yang saya sampaikan selalu sederhana dan belum tentu bisa diimplentasikan.
Sambutan hangat itu saya maksudkan agar memberi semangat lebih dalam mengurus lembaga pendidikannya. Saya selalu beranggapan bahwa, semangat itu penting. Bermodalkan semangat, sekalipun awalnya tidak memiliki modal, ternyata akan menemukanm jalan untuk mewujudkan cita-citanya. Sebaliknya, sekalipun seseorang memiliki potensi dan atau modal cukup, oleh karena tidak memiliki semangat, maka tidak menghasilkan karya apa-apa.
Kyai yang menemui saya terakhir ini, saya ajak mengingat kembali para kyai besar pada zaman dahulu. Para kyai dimaksud selain memiliki kedalaman ilmu dan juga kesalehan, ternyata juga memiliki sumber-sumber ekonomi yang cukup. Kyai selalu memiliki tanah yang luas. Dengan modal kekayaannya itu, para kyai bisa membangun fasilitas pesantren. Selain itu, oleh karena secara ekonomi mereka kemandiri seperti itu, kyai juga tidak memungut biaya pendidikan kepada para santri yang belajar di pesantren.
Imbalan yang diterima oleh kyai dari santri, biasanya sederhana. Misalnya, para santri diminta membantu kegiatan kyai, seperti bekerja di sawah atau di lingkungan rumah tangga. Biasanya membantu kegiatan kyai sehari-hari, oleh santri sendiri justru dianggap sebagai keistimewaan. Membantu kyai dianggap akan mendapatkan berkah dan ilmu yang bermanfaat.
Keadaan sosial ekonomi para pengasuh pesantren pada zaman dahulu yang sedemikian kuat itu menjadikan mereka memiliki independensi atau bahkan nilai tawar yang kuat. Para kyai tidak akan terpengaruh oleh siapapun, dan bahkan juga dari pemerintah. Posisi kyai yang sangat kuat seperti itu maka di hadapan siapapun, keberadaan mereka sangat kokoh. Kyai tidak terganntung dengan siapa saja, termasuk dalam menentukan kitab-kitab yang diajarkan atau juga kurikulum yang dikembangkan di pesantrennya.
Sebagai dampak dari kekuatan kyai di bidang sosial ekonomi seperti itu, menjadikan mereka tidak memerlukan bantuan dari pemerintah. Kyai tidak perlu menugaskan para santrinya membuat proposal untuk meminta sumbangan tatkala akan pembangunan masjid, pondok dan fasilitas yang dibutuhkan oleh pesantren. Sebaliknya, para pejabat datang ke pesantren bukan untuk transaksi-transaksi yang bersifat rendahan, tetapi justru mereka membutuhkan uluran tangan kyai. Dengan demikian itu, maka kyai sangat berwibawa di hadapan siapapun.
Namun akhir-akhir ini, keadaan tersebut sudah berubah. Tidak sedikit kyai yang sudah tidak lagi memiliki sumber-sumber ekonomi sebagai penyangga perjuangannya. Dengan begitu, maka independensi kyai menjadi semakin hilang. Hal yang menjadi cukup memprihatinkan adalah ketika kemudian kyai datang ke penguasa dengan maksud meminta bantuan untuk mengembangkan pesantrennya. Bahkan, kyai juga dilibatkan dengan kegiatan politik praktis untuk mendukung calon pejabat tertentu. Keterlibatan mereka bukan semata pertimbangan kualitas, melainkan agar memberi sesuatu yang bersifat material kepada pesantrennya.
Gambaran tentang posisi kyai yang tidak memiliki independensi lagi seperti itu, tentu berpengaruh secara luas. Kewibawaan kyai menjadi tidak sebagaimana mestinya. Bahkan juga muncul komentar-komentar negatif ketika kyai ikut ambil bagian dalam dukung mendungkung kegiatan politik praktis itu. Apalagi, dukungan itu juga tidak kelihatan obyektif, misalnya atas dasar keikhlasan untuk memajukan masyarakat dan lembaga pendidikannya.
Diskusi dengan kyai yang mendatangi saya itu menjadi panjang. Saya mengatakan bahwa perubahan sikap kyai itu tidak bisa dimaknai dari aspek teologisnya, misalnya keimanannya telah merosot, melainkan oleh karena posisi kyai dalam sosial ekonomi sudah berubah. Umpama para kyai sekarang ini masih seperti dulu, yaitu memiliki sumber-sumber ekonomi yang cukup kuat, maka mereka masih akan bisa mempertahankan posisinya yang independen itu. Kalau dulu, kyai memiliki tanah yang luas, sekarang ini mestinya mereka memiliki pabrik atau perusahaan besar, sehingga keuntungannya bisa digunakan untuk menghidupi lembaga pendidikannya.
Sayangnya, perubahan dari petani menjadi masyarakat industri seperti sekarang ini tidak sepenuhnya berhasil diikuti oleh para pemilik pesantren. Umpama saja, para kyai memiliki sumber-sumber ekonomi modern itu maka independensinya masih bisa dipertahankan. Dunia ekonomi bergerak cepat, dan ternyata tidak mudah diikuti oleh para pengasuh pesantren. Ketika itu, saya mengajak kyai yang hadir itu untuk membayangkan, umpama pesantren memiliki 1000 ekor sapi perah, ------oleh karena kyai pesantren di maksud berada di daerah peternakan sapi, maka pesantrennya bisa mandiri. Lebih dari itu, para santrinya bisa digratiskan dan kyai juga memiliki independensi yang kokoh, sehingga akan persis seperti kyai zaman dulu. Wallahu a�lam.
Sambutan hangat itu saya maksudkan agar memberi semangat lebih dalam mengurus lembaga pendidikannya. Saya selalu beranggapan bahwa, semangat itu penting. Bermodalkan semangat, sekalipun awalnya tidak memiliki modal, ternyata akan menemukanm jalan untuk mewujudkan cita-citanya. Sebaliknya, sekalipun seseorang memiliki potensi dan atau modal cukup, oleh karena tidak memiliki semangat, maka tidak menghasilkan karya apa-apa.
Kyai yang menemui saya terakhir ini, saya ajak mengingat kembali para kyai besar pada zaman dahulu. Para kyai dimaksud selain memiliki kedalaman ilmu dan juga kesalehan, ternyata juga memiliki sumber-sumber ekonomi yang cukup. Kyai selalu memiliki tanah yang luas. Dengan modal kekayaannya itu, para kyai bisa membangun fasilitas pesantren. Selain itu, oleh karena secara ekonomi mereka kemandiri seperti itu, kyai juga tidak memungut biaya pendidikan kepada para santri yang belajar di pesantren.
Imbalan yang diterima oleh kyai dari santri, biasanya sederhana. Misalnya, para santri diminta membantu kegiatan kyai, seperti bekerja di sawah atau di lingkungan rumah tangga. Biasanya membantu kegiatan kyai sehari-hari, oleh santri sendiri justru dianggap sebagai keistimewaan. Membantu kyai dianggap akan mendapatkan berkah dan ilmu yang bermanfaat.
Keadaan sosial ekonomi para pengasuh pesantren pada zaman dahulu yang sedemikian kuat itu menjadikan mereka memiliki independensi atau bahkan nilai tawar yang kuat. Para kyai tidak akan terpengaruh oleh siapapun, dan bahkan juga dari pemerintah. Posisi kyai yang sangat kuat seperti itu maka di hadapan siapapun, keberadaan mereka sangat kokoh. Kyai tidak terganntung dengan siapa saja, termasuk dalam menentukan kitab-kitab yang diajarkan atau juga kurikulum yang dikembangkan di pesantrennya.
Sebagai dampak dari kekuatan kyai di bidang sosial ekonomi seperti itu, menjadikan mereka tidak memerlukan bantuan dari pemerintah. Kyai tidak perlu menugaskan para santrinya membuat proposal untuk meminta sumbangan tatkala akan pembangunan masjid, pondok dan fasilitas yang dibutuhkan oleh pesantren. Sebaliknya, para pejabat datang ke pesantren bukan untuk transaksi-transaksi yang bersifat rendahan, tetapi justru mereka membutuhkan uluran tangan kyai. Dengan demikian itu, maka kyai sangat berwibawa di hadapan siapapun.
Namun akhir-akhir ini, keadaan tersebut sudah berubah. Tidak sedikit kyai yang sudah tidak lagi memiliki sumber-sumber ekonomi sebagai penyangga perjuangannya. Dengan begitu, maka independensi kyai menjadi semakin hilang. Hal yang menjadi cukup memprihatinkan adalah ketika kemudian kyai datang ke penguasa dengan maksud meminta bantuan untuk mengembangkan pesantrennya. Bahkan, kyai juga dilibatkan dengan kegiatan politik praktis untuk mendukung calon pejabat tertentu. Keterlibatan mereka bukan semata pertimbangan kualitas, melainkan agar memberi sesuatu yang bersifat material kepada pesantrennya.
Gambaran tentang posisi kyai yang tidak memiliki independensi lagi seperti itu, tentu berpengaruh secara luas. Kewibawaan kyai menjadi tidak sebagaimana mestinya. Bahkan juga muncul komentar-komentar negatif ketika kyai ikut ambil bagian dalam dukung mendungkung kegiatan politik praktis itu. Apalagi, dukungan itu juga tidak kelihatan obyektif, misalnya atas dasar keikhlasan untuk memajukan masyarakat dan lembaga pendidikannya.
Diskusi dengan kyai yang mendatangi saya itu menjadi panjang. Saya mengatakan bahwa perubahan sikap kyai itu tidak bisa dimaknai dari aspek teologisnya, misalnya keimanannya telah merosot, melainkan oleh karena posisi kyai dalam sosial ekonomi sudah berubah. Umpama para kyai sekarang ini masih seperti dulu, yaitu memiliki sumber-sumber ekonomi yang cukup kuat, maka mereka masih akan bisa mempertahankan posisinya yang independen itu. Kalau dulu, kyai memiliki tanah yang luas, sekarang ini mestinya mereka memiliki pabrik atau perusahaan besar, sehingga keuntungannya bisa digunakan untuk menghidupi lembaga pendidikannya.
Sayangnya, perubahan dari petani menjadi masyarakat industri seperti sekarang ini tidak sepenuhnya berhasil diikuti oleh para pemilik pesantren. Umpama saja, para kyai memiliki sumber-sumber ekonomi modern itu maka independensinya masih bisa dipertahankan. Dunia ekonomi bergerak cepat, dan ternyata tidak mudah diikuti oleh para pengasuh pesantren. Ketika itu, saya mengajak kyai yang hadir itu untuk membayangkan, umpama pesantren memiliki 1000 ekor sapi perah, ------oleh karena kyai pesantren di maksud berada di daerah peternakan sapi, maka pesantrennya bisa mandiri. Lebih dari itu, para santrinya bisa digratiskan dan kyai juga memiliki independensi yang kokoh, sehingga akan persis seperti kyai zaman dulu. Wallahu a�lam.
0 komentar:
Posting Komentar