Bahwa untuk menjadi pejabat politik seperti bupati, walikota, gubernur, dan bahkan setingkat kepala desa harus bermodalkan uang sudah menjadi pengetahuan umum. Semnua orang sudah tahu, bahwa untuk menjadi calon pejabat politik harus bermodalkan tidak sedikit. Tanpa memiliki modal tidak akan mungkin seseorang bisa mencalonkan diri sebagai pejabat yang harus dipilih langsung oleh rakyat itu.
Modal yang tidak sedikit itu tidak saja digunakan beaya kampanye, tetapi juga untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik yang akan mengusungnya. Untuk menjadi calon bupati atau wali kota saja tidak cukup hanya sejumlah ratusan juta, melainkan harus puluhan milyard. Jumlah itu akan semakin besar lagi untuk jabatan gubernur. Sekalipun besarnya beaya itu tidak pernah diketahui publik secara pasti, tetapi biasanya dari mulut ke mulut, informasi itu sampai juga ke telinga masyarakat.
Jauh sebelum pemilihan kepala daerah digelar, biasanya para calon sudah memperkenalkan diri dengan memasang foto dalam ukuran besar atau kecil di tempat-tempat strategis. Tentu semua kegiatan itu tidak akan gratis. Beaya itu akan menjadi lebih besar, manakala iklan itu lewat televisi, koran, majalah atau jenis lainnya. Belum lagi, ketika para calon dimaksud itu juga bertindak sebagai sponsor pada berbagai kegiatan dalam waktu yang lama. Semua jenis promosi itu akan menguras dana dari masing-masing calon yang bersangkutan.
Besarnya modal untuk menjadi calon pejabat politik itu sudah diketahui oleh umum. Setiap saya menanyakan kepada seseorang yang saya anggap layak mencalonkan diri, selalu saja mendapatkan jawaban, bahwa dirinya tidak memiliki cukup modal. Kemauan dan semangat dari mereka itu ada, dan bahkan merasa cakap, tetapi biasanya terbentur oleh ketersediaan uang. Tidak punya uang, itulah alasan utama mereka tidak sanggup mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Tanpa uang, tidak akan mungkin seseorang bisa mencalonkan diri sebagai pejabat politik, termasuk hal itu bagi calon legislatif di berbagai tingkatannya.
Oleh karena itu, politik selalu bersentuhan dengan uang. Uang dan politik menyatu hingga tidak b isa dipisahkan. Padahal, semua orang tahu bahwa imbalan resmi sebagai pejabat politik tidak terlalu tinggi. Gaji sebagai pejabat BUMN ternyata jauh lebih besar dibanding dengan menjadi kepala daerah. Akan tetapi, bagi mereka yang memiliki dana cukup, apapun resikonya, ternyata bersedia mencalonkannya. Padahal jika dikalkulasi antara modal dengan gaji yang akan diterima selama mereka menjabat selalu tidak akan imbang.
Modal yang harus dikeluarkan oleh calon pejabat politik jauh lebih besar dibanding gaji resmi yang akan diterima. Mungkin mereka berharap agar modal itu tertutupi dari gaji yang tidak resmi, sekalipun manakala ketahuan akan disebut gratifikasi atau bahkan korupsi. Banyaknya kepala daerah, -----lebih dari 220 orang, yang tersangkut hukum, di antaranya adalah disebabkan oleh besarnya beaya menjadi pejabat politik itu. Namun demikian anehnya, hingga sekarang, jabatan politik berbeaya tinggi itu masih banyak peminatnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah mungkin dalam kondisi seperti sekarang ini, bisa dilakukan perubahan radikal hingga para calon pejabat politik itu gratis atau tidak harus mengeluarkan beaya. Perubahan itu hanya akan mungkin terjadi manakala kekuatan rakyat menghendakinya. Misalnya, rakyat bersepakat tidak akan memilih calon pejabat politik yang ditengarai berani mengeluarkan dana, baik untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik, biaya kampanye, dan atau lainnya. Rakyat diajak berlogika, bahwa siapapun yang berani membeayai dirinya untuk menjadi pejabat politik, --------dan apalagi dalam jumlah besar, sangat mungkin akan menyimpangkan dana pemerintah sebagai upaya mendapatkan pengembalian modal yang telah dibayarkan sebelumnya.
Manakala rakyat memiliki pandangan seperti itu, siapapun yang berani mengeluarkan beaya besar tatkala maju sebagai calon pejabat politik, maka justru tidak akan dipilih. Dengan demikian, mereka yang berkampanye dengan beaya tinggi hingga dipandang tidak wajar, maka justru dianggap negatif. Mereka itu dinilai sebagai telah melakukan penyimpangan sehingga tidak harus dipilih. Sebab diyakini bahwa, orang yang mengeluarkan modal seperti itu, nanti tatkala telah benar-benar menjadi pejabat akan menyalah-gunakan kewenangannya atau korupsi.
Atas dasar pandangan seperti itu, maka di antara calon pejabat politik yang benar-benar jujur, memiliki kepemimpinan andal, dan berintegritas tinggi terhadap rakyatnya, sekalipun tidak bermodal, justru terpilih. Dengan demikian, kekuasaan yang diperoleh tidak dijadikan sebagai pintu untuk mendapatkan keuntungan material yang tidak sewajarnya. Posisi kepemimpinan politik, --------dengan begitu, tidak lagi dijadikan sebagai lahan transaksi untuk sama-sama mendapatkan keuntungan materi belaka.
Apabila pejabat politik yang terpilih adalah yang justru tidak bermodalkan uang, maka korupsi akan bisa dihindari dan bahkan dicegah dengan sendirinya. Akan tetapi, pertanyaannya adalah, apakah mungkin sebagian besar rakyat berhasil dimobilisasi seperti itu. Jika mungkin, maka jabatan politik bisa benar-benar gratis. Untuk menjadi pejabat politik seperti bupati, wali kota, hingga gubernur, tidak perlu harus kaya terlebih dahulu. Siapapun asalkan jujur, pintar, dan memiliki jiwa kepemimpinan, akan berani mencalonkan diri. Wallahu a�lam.
Modal yang tidak sedikit itu tidak saja digunakan beaya kampanye, tetapi juga untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik yang akan mengusungnya. Untuk menjadi calon bupati atau wali kota saja tidak cukup hanya sejumlah ratusan juta, melainkan harus puluhan milyard. Jumlah itu akan semakin besar lagi untuk jabatan gubernur. Sekalipun besarnya beaya itu tidak pernah diketahui publik secara pasti, tetapi biasanya dari mulut ke mulut, informasi itu sampai juga ke telinga masyarakat.
Jauh sebelum pemilihan kepala daerah digelar, biasanya para calon sudah memperkenalkan diri dengan memasang foto dalam ukuran besar atau kecil di tempat-tempat strategis. Tentu semua kegiatan itu tidak akan gratis. Beaya itu akan menjadi lebih besar, manakala iklan itu lewat televisi, koran, majalah atau jenis lainnya. Belum lagi, ketika para calon dimaksud itu juga bertindak sebagai sponsor pada berbagai kegiatan dalam waktu yang lama. Semua jenis promosi itu akan menguras dana dari masing-masing calon yang bersangkutan.
Besarnya modal untuk menjadi calon pejabat politik itu sudah diketahui oleh umum. Setiap saya menanyakan kepada seseorang yang saya anggap layak mencalonkan diri, selalu saja mendapatkan jawaban, bahwa dirinya tidak memiliki cukup modal. Kemauan dan semangat dari mereka itu ada, dan bahkan merasa cakap, tetapi biasanya terbentur oleh ketersediaan uang. Tidak punya uang, itulah alasan utama mereka tidak sanggup mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Tanpa uang, tidak akan mungkin seseorang bisa mencalonkan diri sebagai pejabat politik, termasuk hal itu bagi calon legislatif di berbagai tingkatannya.
Oleh karena itu, politik selalu bersentuhan dengan uang. Uang dan politik menyatu hingga tidak b isa dipisahkan. Padahal, semua orang tahu bahwa imbalan resmi sebagai pejabat politik tidak terlalu tinggi. Gaji sebagai pejabat BUMN ternyata jauh lebih besar dibanding dengan menjadi kepala daerah. Akan tetapi, bagi mereka yang memiliki dana cukup, apapun resikonya, ternyata bersedia mencalonkannya. Padahal jika dikalkulasi antara modal dengan gaji yang akan diterima selama mereka menjabat selalu tidak akan imbang.
Modal yang harus dikeluarkan oleh calon pejabat politik jauh lebih besar dibanding gaji resmi yang akan diterima. Mungkin mereka berharap agar modal itu tertutupi dari gaji yang tidak resmi, sekalipun manakala ketahuan akan disebut gratifikasi atau bahkan korupsi. Banyaknya kepala daerah, -----lebih dari 220 orang, yang tersangkut hukum, di antaranya adalah disebabkan oleh besarnya beaya menjadi pejabat politik itu. Namun demikian anehnya, hingga sekarang, jabatan politik berbeaya tinggi itu masih banyak peminatnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah mungkin dalam kondisi seperti sekarang ini, bisa dilakukan perubahan radikal hingga para calon pejabat politik itu gratis atau tidak harus mengeluarkan beaya. Perubahan itu hanya akan mungkin terjadi manakala kekuatan rakyat menghendakinya. Misalnya, rakyat bersepakat tidak akan memilih calon pejabat politik yang ditengarai berani mengeluarkan dana, baik untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik, biaya kampanye, dan atau lainnya. Rakyat diajak berlogika, bahwa siapapun yang berani membeayai dirinya untuk menjadi pejabat politik, --------dan apalagi dalam jumlah besar, sangat mungkin akan menyimpangkan dana pemerintah sebagai upaya mendapatkan pengembalian modal yang telah dibayarkan sebelumnya.
Manakala rakyat memiliki pandangan seperti itu, siapapun yang berani mengeluarkan beaya besar tatkala maju sebagai calon pejabat politik, maka justru tidak akan dipilih. Dengan demikian, mereka yang berkampanye dengan beaya tinggi hingga dipandang tidak wajar, maka justru dianggap negatif. Mereka itu dinilai sebagai telah melakukan penyimpangan sehingga tidak harus dipilih. Sebab diyakini bahwa, orang yang mengeluarkan modal seperti itu, nanti tatkala telah benar-benar menjadi pejabat akan menyalah-gunakan kewenangannya atau korupsi.
Atas dasar pandangan seperti itu, maka di antara calon pejabat politik yang benar-benar jujur, memiliki kepemimpinan andal, dan berintegritas tinggi terhadap rakyatnya, sekalipun tidak bermodal, justru terpilih. Dengan demikian, kekuasaan yang diperoleh tidak dijadikan sebagai pintu untuk mendapatkan keuntungan material yang tidak sewajarnya. Posisi kepemimpinan politik, --------dengan begitu, tidak lagi dijadikan sebagai lahan transaksi untuk sama-sama mendapatkan keuntungan materi belaka.
Apabila pejabat politik yang terpilih adalah yang justru tidak bermodalkan uang, maka korupsi akan bisa dihindari dan bahkan dicegah dengan sendirinya. Akan tetapi, pertanyaannya adalah, apakah mungkin sebagian besar rakyat berhasil dimobilisasi seperti itu. Jika mungkin, maka jabatan politik bisa benar-benar gratis. Untuk menjadi pejabat politik seperti bupati, wali kota, hingga gubernur, tidak perlu harus kaya terlebih dahulu. Siapapun asalkan jujur, pintar, dan memiliki jiwa kepemimpinan, akan berani mencalonkan diri. Wallahu a�lam.
0 komentar:
Posting Komentar