Amanah itu adalah beban yang harus ditunaikan dan juga harus dipertanggung-jawabkan. Kekuasaan adalah bagian dari amanah, sehingga juga harus dipertanggung jawabkan. Sebagai amanah seharusnya tidak diberikan kepada sembarang orang, kecuali kepada orang-orang yang kompeten dan atau mampu menanggungnya. Jika amanah diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, maka akan terjadi kehancuran.
Namun aneh, akhir-akhir ini banyak orang berebut amanah. Apalagi amanah terkait dengan kekuasaan. Berebut untuk mendapatkan kekuasaan dinggap wajar. Orang mengangggap bahwa amanah berupa kekuasaan atau jabatan akan melahirkan gensi, prestise, kehormatan, dan bahkan juga akan mendatangkan fasilitas dan kekayaan.
Sekalipun harus dipertanggung jawabkan, namun sekarang ini amanah tidak saja diperebutkan tetapi juga dijual belikan. Seseorang agar dipilih menjadi pejabat atau penguasa maka berani membayar kepada para calon pemilihnya. Sebagai sesuatu yang diperjual belikan, maka calon pejabat juga mengiklankan dirinya. Ditunjukkanlah kepada publik bahwa dirinya cakap, bijak, menyenangi rakyat, amanah, dan akan berusaha memenuhi aspirasi rakyat pemilihnya.
Dalam beriklan, berbagai janji disampaikan dengan maksud agar dipilih. Tidak peduli, janji itu masuk diakal atau tidak. Itulah sebabnya, setelah berhasil dipilih dan diangkat janji mestinya dipenuhi. Menerima amanah bukan dianggap beban, melainkan anehnya dirasakan sebagai keberuntungan dan oleh karena itu disyukuri dalam-dalam. Amanah menjadi sebuah kelebihan dan kekayaan.
Memang terasa aneh, beban harus dikejar-kejar dan diperebutkan. Memiliki beban dianggap hebat, sekalipun belum tentu mampu menunaikannya. Menanggung beban juga dianggap mulia. Mereka tidak sadar bahwa amanah itu selalu menuntut tanggung jawab, dan beresiko hingga akherat. Amanah diartikan sebagai keberuntungan, sehingga menjadikan seseorang tatkala menerimanya dikirimi ucapan selamat, karangan bunga, dan seterusnya.
Fenomena perebutan amanah tampak dengan jelas pada setiap pilkades, pilkada, pilleg, pilpres. Orang berlomba untuk memperebutkannya. Berapa saja besarnya biaya itu dipenuhi. Mereka itu saling bergambling. Siapa saja yang kalah akan kehilangan hartanya, dan tambahan lagi bagi yang menang, selain kehilangan uang juga akan mendapatkan beban. Bahkan kalau melakukan kesalahan, korupsi misalnya, akan masuk penjara.
Berbagai makhluk Tuhan pernah ditawari amanah. Semua menolak, kecuali manusia. Kebanyakan makhluk itu merasa tidak mampu mempertanggung jawabkannya. Manusia menerima amanah itu, hingga mereka dianggap bodoh. Lebih aneh lagi, manusia sekarang ini bukan sekedar mau menerima, melainkan justru berebut dan bahkan membeli, berapapun harganya. Mereka tidak sadar bahwa amanah itu adalah beban yang harus ditunaikan hingga sampai di akherat nanti.
Dalam Islam, amanah terkait apa saja, termasuk kekuasaan atau jabatan tidak seharusnya diperebutkan. Akan tetapi, manakala telah diberikan juga tidak boleh ditolak. Amanah harus ditunaikan sebaik-baiknya. Seberat apapun beban itu, manakala ditunaikan dengan sungguh-sungguh, ikhlas, sabar, dan tawakkal, maka atas pertolongan Allah, pintu-pintu keberhasilan akan terbuka tanpa diperkirakan sebelumnya. Wallahu a�lam.
Namun aneh, akhir-akhir ini banyak orang berebut amanah. Apalagi amanah terkait dengan kekuasaan. Berebut untuk mendapatkan kekuasaan dinggap wajar. Orang mengangggap bahwa amanah berupa kekuasaan atau jabatan akan melahirkan gensi, prestise, kehormatan, dan bahkan juga akan mendatangkan fasilitas dan kekayaan.
Sekalipun harus dipertanggung jawabkan, namun sekarang ini amanah tidak saja diperebutkan tetapi juga dijual belikan. Seseorang agar dipilih menjadi pejabat atau penguasa maka berani membayar kepada para calon pemilihnya. Sebagai sesuatu yang diperjual belikan, maka calon pejabat juga mengiklankan dirinya. Ditunjukkanlah kepada publik bahwa dirinya cakap, bijak, menyenangi rakyat, amanah, dan akan berusaha memenuhi aspirasi rakyat pemilihnya.
Dalam beriklan, berbagai janji disampaikan dengan maksud agar dipilih. Tidak peduli, janji itu masuk diakal atau tidak. Itulah sebabnya, setelah berhasil dipilih dan diangkat janji mestinya dipenuhi. Menerima amanah bukan dianggap beban, melainkan anehnya dirasakan sebagai keberuntungan dan oleh karena itu disyukuri dalam-dalam. Amanah menjadi sebuah kelebihan dan kekayaan.
Memang terasa aneh, beban harus dikejar-kejar dan diperebutkan. Memiliki beban dianggap hebat, sekalipun belum tentu mampu menunaikannya. Menanggung beban juga dianggap mulia. Mereka tidak sadar bahwa amanah itu selalu menuntut tanggung jawab, dan beresiko hingga akherat. Amanah diartikan sebagai keberuntungan, sehingga menjadikan seseorang tatkala menerimanya dikirimi ucapan selamat, karangan bunga, dan seterusnya.
Fenomena perebutan amanah tampak dengan jelas pada setiap pilkades, pilkada, pilleg, pilpres. Orang berlomba untuk memperebutkannya. Berapa saja besarnya biaya itu dipenuhi. Mereka itu saling bergambling. Siapa saja yang kalah akan kehilangan hartanya, dan tambahan lagi bagi yang menang, selain kehilangan uang juga akan mendapatkan beban. Bahkan kalau melakukan kesalahan, korupsi misalnya, akan masuk penjara.
Berbagai makhluk Tuhan pernah ditawari amanah. Semua menolak, kecuali manusia. Kebanyakan makhluk itu merasa tidak mampu mempertanggung jawabkannya. Manusia menerima amanah itu, hingga mereka dianggap bodoh. Lebih aneh lagi, manusia sekarang ini bukan sekedar mau menerima, melainkan justru berebut dan bahkan membeli, berapapun harganya. Mereka tidak sadar bahwa amanah itu adalah beban yang harus ditunaikan hingga sampai di akherat nanti.
Dalam Islam, amanah terkait apa saja, termasuk kekuasaan atau jabatan tidak seharusnya diperebutkan. Akan tetapi, manakala telah diberikan juga tidak boleh ditolak. Amanah harus ditunaikan sebaik-baiknya. Seberat apapun beban itu, manakala ditunaikan dengan sungguh-sungguh, ikhlas, sabar, dan tawakkal, maka atas pertolongan Allah, pintu-pintu keberhasilan akan terbuka tanpa diperkirakan sebelumnya. Wallahu a�lam.
0 komentar:
Posting Komentar