Menjadi dosen atau pengajar, tentu saja termasuk guru dalam semua
tingkatan mendapatkan posisi yang sangat terhormat. Dalam hirarki
kemuliaan akademik, menjadi pengajar mendapatkan posisi pertama. Nabi
Muhammad pernah berkata, “Kun aliman, au muta’alliman, au mustami’an, au muhibban, wa la takun khomisan, fatahlik!”.
Jadilah kamu pengajar, atau pembelajar, atau pendengar, atau pencinta,
dan jangan jadi (golongan) yang kelima, maka kamu akan rusak.
Menjadi pengajar adalah pilihan pertama menurut anjuran Nabi. Tentu
saja konteks Al-Hadits ini tidak hanya pada lembaga pendidikan formal di
mana menjadi pengajar adalah sebuah pilihan profesi. Pada saat
Nabi, nampaknya belum ada lembaga pendidikan formal. “Lembaga
pendidikan” yang terekam pada saat itu adalah rumahnya Al-Arqom (Darul
Arqom), di mana Nabi sering bertemu dengan sahabat dan berbagi wahyu
yang diterimanya. Dalam konteks ini, setiap orang, siapapun dia, dapat
menjadi pengajar.
Nabi Muhammad pernah berpesan, “Ballighu ‘anni walau ayatan“,
sampaikan dariku meskipun hanya satu ayat. Secara implisit, pesan ini
meminta kita untuk menyampaikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang
lain, meskipun sedikit: menjadi pengajar.
Jika kita belum mampu menjadi pengajar, kata Nabi, jadilah pembelajar.
Orang dengan rasa ingin tahu tinggi dan selalu haus ilmu. Dalam banyak
kesempatan sebagai terekam dalam Al-Hadits, posisi pembelajar sangat
dihargai. Beberapa teks Al-Hadits berikut dapat menguatkan klaim ini:
“Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimah”
“Tuntutlah ilmu, mulai dari ayunan, sampai liang lahat!”
“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China!”
Belajar bukan pekerjaan ringan. Perlu komitmen dan ketekunan. Tanpanya, aktivitas belajar akan menjadi sangat berat.
Suatu saat dalam sebuah perjalanan ke Eropa saya duduk bersebelahan
dengan seorang ibu. Si Ibu tersebut dengan rombongan lain akan berwisata
ke beberapa negara di Eropa. Meskipun baru kenal sebentar, si Ibu
bercerita cukup banyak. Ketika tahu kalau saya seorang dosen, dan sedang
menengok anak dan istri yang sedang belajar, dia berkomentar pendek,
“Apa tidak capek belajar terus? Saya selesai S1 saja sudah merasa capek,”
ungkapannya sangat serius, tanpa bermaksud melecehkan. Memang
profesinya adalah pengusaha, dan saya yakin dia tetap belajar banyak
meskipun tidak duduk di bangku lembaga pendidikan formal.
Belajar dapat dilakukan di mana saja, dengan modal utama rasa ingin tahu (curiosity).
Tanpa rasa ingin tahu, atau bahkan sudah disibukkan dengan ide-ide
sendiri tanpa keinginan mendengarkan dari orang lain, belajar nampaknya
sulit dilakukan.
Dalam sebuat cerita Zen, Guru Nan-in mempunyai seorang tamu yang
ingin belejar tentang Zen. Si tamu bukannya mendengarkan Nan-in, tetapi
malah banyak berbicara tentang ide-idenya sendiri. Sesaat kemudian,
Nan-in menghidangkan teh. Nan-in menuangkan teh ke cangkir si tamu
sampai penuh, dan tetap menuang sampai tumpah. Akhirnya, si tamu
menyela, “Tidakkah Guru lihat kalau cangkirnya sudah penuh?.”
“Cangkirnya sudah tidak muat lagi”, lanjutnya.
“Benar,” kata Guru Nan-in, dan akhirnya berhenti menuang. “Seperti
sebuah cangkir, Anda sudah terisi dengan ide-ide sendiri. Bagaimana Anda
mengharapkan saya untuk dapat memberimu Zen sampai Anda memberikan
kepada saya cangkir kosong?”
Jika karena suatu keadaan kita tidak atau belum bisa menjadi pengajar atau pembelajar, pilihan ketiga adalah menjadi pendengar.
Mendengar adalah sebuah pilihan sadar yang harus diikuti dengan kemauan
meluangkan pikiran untuk dapat meningkatkan kualitas diri. Mendengar
bukan hanya aktivitas ketika tidak mendapatkan giliran berbicara.
Mendengar dengan baik tidak dapat dilakukan jika pikiran penuh.
Mendengar dalam konteks ini adalah yang terkait dengan aktivitas
menuntut ilmu, bukan mendengarkan yang bersifat rekreasional, seperti
mendengarkan musik melalui iPod kesayangan.
Jika masih saja tidak bisa? Masih ada pilihan keempat, jadilah pencinta[1].
Pencinta pengajar, pembelajar, dan pendengar ilmu. Nampaknya karena
itulah, banyak orang-orang yang desa saya sangat senang berkunjung ke
ulama atau kiai. Selain mereka suka mendengarkan nasihat, mereka ada
pada pencinta ilmu. Mereka merasa nyaman dapat bertemu dengan para ulama
dan kiai yang dengan tulus menyebarkan ilmu kepada para santrinya.
Tetapi, Nabi mengingatkan, jadi menjadi golongan kelima. Orang yang
tidak termasuk pengajar, pembelajar, pendengar, dan pencinta. Kita bisa
berikan daftar golongan ini, termasuk pembenci ilmu, pembenci pengajar,
pembenci pembelajar, pembenci pendengar, dan pembenci pencinta ilmu.
Kelompok air-headed yang kepalanya berisi udara, alias tidak
mengetahui apa-apa karena pilihannya untuk tidak mau repot berpikir, dan
mencibir kekhusyukan para pencari ilmu, dan cenderung hedonis nampaknya
juga masuk dalam kelompok ini. Na’ubillahi min dzalik.
[1] Kata dasar aktif pencinta atau mencintai, yang artinya orang yang mencintai sesuatu. Variasi lain adalah pecinta dari kata dasar aktif bercinta yang berarti orang yang bercinta dengan sesuatu.
0 komentar:
Posting Komentar