Gaji dosen di Indonesia, seperti umumnya di dunia ditentukan oleh kepangkatannya. Indonesia sudah mengadopsi sistem 4 golongan (guru besar, lektor kepala, lektor, asisten ahli) yang kira-kira setara dengan professor, associate/assistant professor, senior lecturer, lecturer. Nah, yang unik adalah bagaimana menentukan seorang dosen memiliki pangkat apa. Di negara-negara yang pendidikannya maju seperti USA, Japan, China, EU, Australia, seseorang dinilai layak atau tidak menjadi professor atau senior lecturer misalnya dengan cara melihat track record yang bersangkutan ditambah informasi melalui interview. Misalnya jika ada universitas yang butuh associate professor dia akan buka lowongan untuk cari calon dari luar. Selain itu lecturer yang ada dievaluasi apa ada yang potensial untuk naik pangkat. Jadi mirip perusahaan industri mau cari wakil direktur. Setelah dapat, biasanya akan dikontrak dengan kondisi hak dan kewajiban yang jelas. Hal ini supaya si professor sadar dia harus kerja keras supaya bisa mempertahankan posisinya. Mirip seperti seorang manajer di kantor/pabrik yang terus dievaluasi oleh atasan dan mungkin bawahan. Professor harus bisa menghasilkan publikasi yang banyak, mendatangkan dana riset yang besar, dll. Kalau gagal ya out. Ini sebabnya professor di negara maju umumnya berkualitas tinggi. Maka layak dapat gaji besar.
Nah, bagaimana Indonesia?
Sistem di Indonesia menggunakan sistem poin. Istilah resminya kum. Tidak seperti di negara maju yang poinnya tidak terlalu detil, yang di Indonesia luar biasa detil. Kalau punya publikasi di seminar nasional dapat kum 6, internasional 10. Jurnal internasional 40 poin kum (penulis I dapat 60 %). Kalau ngajar 1-2 kum, jadi kajur 3 kum/semester. Ikut workshop dapat 3 kum. Sistem poin kum pun dibagi untuk 4 kategori yaitu tridharma plus penunjangnya. Masih banyak lagi, kalau ngga salah hampir seratus aturan kum. Terus kalau dapat 200 kum total, jadi lektor. Dapat 400 bisa lektor kepala. Guru besar sekitar 800an.
Yang jadi persoalan adalah bagaimana kum ini diperoleh. Seorang dosen bisa saja punya satu hasil riset, terus seminar sana-sini buat cari kum. Terus, beberapa dosen bisa rajin ikut workshop dan seminar yang belum tentu berguna bagi keilmuannya dengan tujuan yang penting dapat sertifikat yang bernilai 3 poin.
Selain itu sistem ini lebih condong ke kuantitas ketimbang kualitas. Sebagai contoh, jika punya dua jurnal internasional di mana ditulis oleh beberapa orang tapi Anda bukan penulis utama. Karena bukan sebagai penulis utama, poinnya kecil. Lebih kecil dari poin hasil seminar nasional. Di samping itu kalau bisa jadi pejabat, umumnya cepat naik pangkat karena tiap semester dapat ekstra poin.
Inilah yang bisa menimbulkan keraguan apakah profesor atau lektor kepala di Indonesia itu benar-benar karena dia hebat dan layak, atau karena dia pintar memanfaatkan celah sistem untuk meraup poin sebanyak-banyaknya.
Saya jadi ingat seorang teman saya yang pakar Teknik Kimia di Surabaya. Beliau hanya asisten ahli namun punya publikasi jurnal internasional 20-an bahkan menjadi visiting professor di beberapa universitas top di dunia. Beliau tidak mengikuti sistem kepangkatan dosen, namun mendapatkan pengakuan internasional terhadap kompetensinya.
Kesimpulannya, sering orang bicara bagaimana gaji dosen itu harus dinaikkan. Tapi dengan sistem yang memiliki kelemahan, gaji besar bisa jatuh ke tangan orang yang tidak tepat. Bahkan jika orang yang tidak pas memiliki posisi yang tinggi semacam profesor, sungguh diragukan kontribusinya bagi kemajuan sains dan teknologi Indonesia. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada profesor-profesor di Indonesia yang layak berpredikat profesor, sistem kepangkatan dosen sebaiknya diperbaiki supaya terjamin yang berpangkat tinggi benar-benar orang-orang berkualitas dan mampu berkontribusi banyak. Perlu mengacu sistem di negara maju atau minimal seperti di industri-industri yang sudah mapan di Indonesia.
Nah, bagaimana Indonesia?
Sistem di Indonesia menggunakan sistem poin. Istilah resminya kum. Tidak seperti di negara maju yang poinnya tidak terlalu detil, yang di Indonesia luar biasa detil. Kalau punya publikasi di seminar nasional dapat kum 6, internasional 10. Jurnal internasional 40 poin kum (penulis I dapat 60 %). Kalau ngajar 1-2 kum, jadi kajur 3 kum/semester. Ikut workshop dapat 3 kum. Sistem poin kum pun dibagi untuk 4 kategori yaitu tridharma plus penunjangnya. Masih banyak lagi, kalau ngga salah hampir seratus aturan kum. Terus kalau dapat 200 kum total, jadi lektor. Dapat 400 bisa lektor kepala. Guru besar sekitar 800an.
Yang jadi persoalan adalah bagaimana kum ini diperoleh. Seorang dosen bisa saja punya satu hasil riset, terus seminar sana-sini buat cari kum. Terus, beberapa dosen bisa rajin ikut workshop dan seminar yang belum tentu berguna bagi keilmuannya dengan tujuan yang penting dapat sertifikat yang bernilai 3 poin.
Selain itu sistem ini lebih condong ke kuantitas ketimbang kualitas. Sebagai contoh, jika punya dua jurnal internasional di mana ditulis oleh beberapa orang tapi Anda bukan penulis utama. Karena bukan sebagai penulis utama, poinnya kecil. Lebih kecil dari poin hasil seminar nasional. Di samping itu kalau bisa jadi pejabat, umumnya cepat naik pangkat karena tiap semester dapat ekstra poin.
Inilah yang bisa menimbulkan keraguan apakah profesor atau lektor kepala di Indonesia itu benar-benar karena dia hebat dan layak, atau karena dia pintar memanfaatkan celah sistem untuk meraup poin sebanyak-banyaknya.
Saya jadi ingat seorang teman saya yang pakar Teknik Kimia di Surabaya. Beliau hanya asisten ahli namun punya publikasi jurnal internasional 20-an bahkan menjadi visiting professor di beberapa universitas top di dunia. Beliau tidak mengikuti sistem kepangkatan dosen, namun mendapatkan pengakuan internasional terhadap kompetensinya.
Kesimpulannya, sering orang bicara bagaimana gaji dosen itu harus dinaikkan. Tapi dengan sistem yang memiliki kelemahan, gaji besar bisa jatuh ke tangan orang yang tidak tepat. Bahkan jika orang yang tidak pas memiliki posisi yang tinggi semacam profesor, sungguh diragukan kontribusinya bagi kemajuan sains dan teknologi Indonesia. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada profesor-profesor di Indonesia yang layak berpredikat profesor, sistem kepangkatan dosen sebaiknya diperbaiki supaya terjamin yang berpangkat tinggi benar-benar orang-orang berkualitas dan mampu berkontribusi banyak. Perlu mengacu sistem di negara maju atau minimal seperti di industri-industri yang sudah mapan di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar