Pendahuluan
Tradisi intelektual Islam dimulai sejak
kelahiran Islam itu sendiri, secara historis tradisi intelektual dalam Islam
dimulai dari pemahaman (tafaqquh)
terhadap al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, wahyu pertama
dalam Surah Al ‘Alaq menyuruh Nabi untuk membaca (iqro’) kemudian secara berturut-turut dari periode Makkah awal,
Makkah akhir dan periode Madinah. Kesemuanya itu menandai lahirnya worldview Islam. Di dalam al-Qur'an
terkandung konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan
dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi' tabiin dan para ulama yang datang
kemudian. Konsep 'ilm yang dalam
al-Qur'an bersifat umum, misalnya dipahami dan ditafsirkan para ulama sehingga
memiliki berbagai definisi. Cikal bakal konsep Ilmu pengetahuan dalam Islam
adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu yang ditafsirkan kedalam berbagai bidang
kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh. Jadi
Islam adalah suatu peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks wahyu yang
didukung oleh tradisi intelektual. Dari konsep 'Ilm ini pula kemudian lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan
seperti Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadith, Falak, Hisab, Mawarits, Kalam, Tasawwuf dan
sebagainya.
Dalam menggambarkan peradaban Islam Ibn Khaldun
membahas secara panjang lebar, ilmu-ilmu yang berkembang dan dikembangkan di pusat-pusat
kebudayaan Islam, seperti misalnya ilmu bahasa dan agama, aritmatika, aljabar,
ilmu hitung dagang (bussiness arithmetic), ilmu hukum waris (fara’id),
geometri, mekanik, penelitian, optik, astronomi, dan logika. Termasuk juga ilmu
fisika, kedokteran, pertanian, metafisika, ramalan, ilmu kimia dan sebagainya.[1]
Konsep-konsep penting di dalam kebudayaan
Barat adalah hasil adopsi dari peradaban Islam, namun kita tidak dapat
mengambil kembali begitu saja konsep-konsep itu langsung dari Barat, tanpa
proses –jauh panggang dari api-. Layaknya orang-orang Barat mengambil
konsep-konsep itu dengan proses epistemologis yang panjang yang akhirnya
menghasilkan konsep-konsep yang sudah tidak lagi dapat dikenali konsep aslinya,
yaitu Islam. Hal yang sama dilakukan orang Islam ketika mengadapsi warisan
Yunani. Professor Cemil Akdogan memberi contoh bahwa David Hume, yang meniru
konsep dan pandangan al Ghazzali tentang hubungan kausalitas, ternyata
memodifikasinya sehingga menjadi sekuler, dan hasilnya berbeda dari konsep
al-Ghazzali sendiri.[2]
Peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka
jatuh bangunnya suatu peradaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada
salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya.
Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya berkaitan erat sekali. Intinya,
dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur
dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Oleh
karena itulah merosotnya pendidikan adalah faktor utama dalam kemunduran
peradaban Islam. Civitas akademika Islam merasa terpanggil untuk ikut
berpartisipasi dalam membangun kembali peradaban Islam.
Banyak sekali ilmuwan-imuwan islam yang memikirkan,
memusyawarahkan dan kemudian merumuskan solusi atas problematika pendidikan. Oleh
sebab itulah Penulis merasa terpanggil untuk ikut serta berpartisipasi dalam
menguraikan PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMBANGUN KEMBALI PERADABAN
ISLAM.
Mengurai Permasalahan Umat
Perjalanan panjang peradaban Islam diwarnai oleh lahirnya ilmuwan Muslim
dalam berbagai bidang dengan prestasi dalam bidang masing-masing, ini adalah
salah satu ciri terpenting peradaban Islam yaitu perhatiannya terhadap ilmu
pengetahuan. Salah satu pertanda kemunduran ummat Islam yang banyak disoroti
adalah merosotnya prestasi cendekiawan Muslim dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan Islam. Meskipun ada pula yang menyoroti kemunduran dalam bidang
ekonomi, politik dan budaya. Oleh karena itu, pada dekade ini banyak tokoh
cendekiawan dan pemimpin Muslim yang perduli akan kemunduran ummat Islam yang
mencoba menawarkan pemikiran pembaharuan atau strategi pembenahan kondisi ummat.
Al-Attas dalam Risalah Untuk Kaum
Muslimin yang selesai ditulisnya pada awal tahun 1973, melihat bahwa
kebanyakan pemimpin ummat Islam hanya memperhatikan kulit luar dari inti
permasalahan yang menggiring ummat kedalam kancah ketidakberuntungan ini. Ia
menyatakan :
Kini sudah jelas bagi kita kaum Muslimin bahwa akar
masalah yang sedang kita hadapi ini sesungguhnya terletak pada masalah di
sekitar pengertian ilmu. Akal pikiran kita telah diliputi oleh masalah sifat
dan tujuan ilmu yang salah…orang Islam telah terpedaya dan secara tidak sadar
telah menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan pengertian kebudayaan
Barat. Mereka telah memberi pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat
kepribadian mereka. Sedangkan makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama
dan kebudayaan berdasarkan pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai
pandangan hidup tersendiri yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya
sendiri yang berbeda dari pandangan hidup agama dan kebudayaan lain.[3]
Apa yang disimpulkan oleh al-Attas diatas
adalah benar adanya. Kalau di zaman dulu problem yang dihadapi ummat Islam
adalah tantangan ekstern dan intern seperti agresi militer, instabilitias
politik, keterpurukan ekonomi, kerusakan moralitas masyarakat dan pemimpin, maka
di zaman kita sekarang ini tantangan ekstern dan internnya lebih kompleks dan
bermuara pada masalah ilmu pengetahuan.
Di sini al-Attas sangat menyadari
bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan
bahkan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan
pandangan hidup Islam berkaitan sangat erat sekali. Sebab, menurutnya ilmu itu
“mempengaruhi sikap hidup manusia”. Jadi kesimpulan di atas bahwa
pandangan hidup adalah asas peradaban tentulah benar adanya. Dan tidak salah
pula jika disimpulkan bahwa hancurnya peradaban Islam adalah karena hancurnya
ilmu pengetahuan Islam.
Problematika
Pendidikan Islam
Berpegang pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan
pandangan hidup adalah ujung tombak dan guru suatu peradaban, maka tantangan
ekternal yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah ilmu pengetahuan yang bersumber
dari kebudayaan Barat. Barat sendiri adalah peradaban yang tumbuh dan berkembang
dari kombinasi beberapa unsur yaitu filsafat dan nilai-nilai kuno Yunani dan
Romawi, serta agama Yahudi dan Kristen yang dimodifikasi oleh bangsa Eropa.[4]
-
Faktor Eksternal
Tantangan
eksternal ummat Islam dewasa ini yang berbentuk ilmu pengetahuan adalah
derasnya arus pemikiran Barat yang masuk kedalam pemikiran Muslim dalam bentuk
konsep-konsep kunci yang sarat dengan nilai-nalai Barat.
Identitas
peradaban Barat dapat dilihat dari dua periode penting yaitu modernisme dan
postmodernisme. Modernisme adalah aliran pemikiran Barat modern
yang timbul dari pengalaman sejarah mereka sejak empat abad terakhir. Ringkasnya
modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari
abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan.
Ciri-ciri
zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham
sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi,
pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Selain
itu modernisme yang terkadang disebut Westernisme
membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberalisme,
sekularisme dan sebagainya.[5] John Lock, salah
seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan pluralisme agama
adalah inti modernisme. Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam
modernisme adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrim.[6] Sedangkan
postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap
modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari
modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru seperti nihilisme,[7] relativisme,
pluralisme dan persamaan gender (gender equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan
sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme,
rasionalisme dan pluralismenya. Itulah
sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang menguasai
dunia.
Cara
pandang yang berdasarkan pandangan hidup manusia barat sudah menjamur subur
dewasa ini, bisa kita lihat dari cara berfikir dikotomis yang melihat Islam
dengan pandangan ganda Islam historis, Islam normatif, Islam liberal dan Islam
literal, kebenaran obyektif dan kebenaran subyektif, berfikir tekstual dan
kontekstual adalah cara pandang yang berdasarkan pandangan hidup manusia Barat.[8] Terbukti
dengan berfikir dikotomis seperti itu para cendekiawan justru semakin kritis
terhadap tradisi dan khazanah pemikiran Islam daripada mengapresiasi secara
kreatif dan sikap kritisnya terhadap Barat menghilang. Tuduhan Nurcholish bahwa
ummat Islam memahami tradisi seperti dogma, misalnya, bukan alasan yang tepat
untuk meninggalkannya. Dalam setiap agama selalu ada unsur-unsur dogmatisnya,
bahkan dalam dunia sains yang rasional sekalipun aksioma-aksioma itu dipegang
melebihi agama.
Ketika
muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam
dengan menggunakan pemahaman, nilai, ide, pendekatan dan bahkan terminologi
Barat. Konsep yang dihasilkan, boleh jadi tidak lagi compatible dengan pandangan hidup Islam. Mulanya memang sekedar
pemikiran atau konsep tapi implikasnya akan masuk ke sistem pendidikan dan
akhirnya akan membentuk pandangan hidup. Jika pemikiran Muslim sudah
terbaratkan, maka bidang-bidang lain akan ikut dengan sendirinya.
Untuk
itu apa yang diperlukan dalam kajian Islam di Indonesia adalah menggali kembali
khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menguasai pemikiran dan kebudayaan asing
terutama Barat khususnya tentang pandangan hidupnya, filsafatnya,
epistemologinya, sains dan teknologinya agar ummat Islam melahirkan
konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam konteks kekinian atau
kontemporer demi mewujudkan kembali identitas peradaban Islam.
-
Faktor Internal
Problem yang pertama adalah
lemahnya tradisi pengkajian ilmu-ilmu pengetahuan doktrinal maupun pengetahuan
spekulatif. Kelemahan ini mengakibatkan miskinnya konsep-konsep baru yang
rasional sehingga isu-isu yang dibawa oleh kelompok modernis ataupun rasionalis
yang sebenarnya tidak berasal dari tradisi intelektual Islam dianggap sebagai
sesuatu yang baru dan dianggap menyegarkan. Padahal ia lebih merupakan adopsi
dari pandangan Barat ataupun Orientalis yang masih perlu dikritisi. Tapi
lagi-lagi tradisi kritik (naqd) belum menjadi mekanisme intelektual yang
mapan.
Masalah ini menjadi lebih
serius lagi jika dikaitkan dengan pembentukan disiplin ilmu baru dalam Islam.
Tradisi mengadakan kajian dalam satu bidang pemikiran Islam belum bisa tumbuh
sebagaimana kajian dalam bidang ilmu-ilmu sekuler, karena kekurangan sumber
daya manusia ataupun belum wujudnya komunitas untuk itu. Ini berarti keahlian
cendekiawan kita masih belum terklassifikasikan dalam disiplin ilmu tersendiri.
Satu konsep dalam satu bidang kajian masih bercampur campur dengan
konsep-konsep dalam bidang lain dan bahkan konsep-konsep yang diambil dari
konsep asing masih belum sempurna diasimilasikan kedalam pandangan hidup Islam.
Nampaknya semua cendekiawan dapat berbicara tentang semua masalah karena
dianggap mengerti semua masalah, sehingga kita sulit menemukan seorang
cendekiawan yang menekuni satu bidang khusus dan menghasilkan konsep-konsep
Baru. Dalam perkembangan selanjutnya ketika masyarakat ilmiah semakin dewasa
dalam memahami Islam spesialisasi dalam suatu bidang ilmu agama menjadi
tuntutan masyarakat yang tidak dapat dihindarkan dan dari situ akan muncul
disiplin ilmu Baru dalam Islam yang lahir dari pandangan hidup Islam.
Oleh sebab itu, Imam al-Ghazzali dalam kitab masterpiece
beliau al Ihya Ulumudiin mencanangkan
klasifikasi ilmu yang berupa fardhu ‘ain dan fardu kifayah dapat
dikembangkan dalam konteks kekinian. Ilmu fardhu ‘ain dapat diartikan
sebagai ilmu wajib individual
bagi mahasiswa atau pelajar Muslim yang berupa ilmu-ilmu agama yang asasi
tergantung tingkat pendidikannya. Tingkat universitas misalnya tafsir, hadits,
fiqih, teologi (ilmu Kalam), metafisika dapat dimasukkan kedalam ilmu fardhu
‘ain. Ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang tidak mesti dituntut oleh
semua Muslim, termasuk di dalamnya ilmu manusia, ilmu alam, ilmu terapan,
perbandingan agama, kebudayaan Islam dan Barat, ilmu bahasa dan sastra, sejarah
Islam dsb.[9]
Pembagian ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah ini tidak perlu difahami
secara dikotomis, karena ia hanyalah pembagian hirarki ilmu pengetahuan
berdasarkan kepada tingkat kebenarannya. Ia harus dilihat dalam perspektif
kesatuan integral, di mana yang pertama merupakan asas dan rujukan bagi yang
kedua.
Tapi masalahnya dalam kurikulum pendidikan Islam, pengajaran
ilmu-ilmu fardhu ‘ain yang berhubungan dengan keimanan dan
kewajiban-kewajiban individu berhenti pada jenjang pendidikan rendah atau
menengah dan tidak dilanjutkan pada tingkat universitas. Konsep hirarki ilmu
pengetahuan ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah itu belum banyak
dikenal di kalangan lembaga pendidikan Islam, jikapun dikenal ia masih banyak
disalahpahami atau masih belum dikonseptualisasikan serta dipraktekkan secara
akademis. Pembagian ini perlu ditekankan pada jenjang perguruan tinggi. Sebab
masalahnya berkaitan dengan konsep ilmu (epistemologi).
Untuk mengidentifikasi problem ilmu pengetahuan pada lembaga
pendidikan Islam, khususnya di Indonesia ada baiknya dibahas situasi pada 3
institusi pendidikan Islam, yaitu pesantren, madrasah dan perguruan tinggi
Islam.
1)
Sistem
pendidikan pesantren
Pesantren di Indonesia terdiri dari dua sistem yaitu
tradisional dan modern. Keduanya mempunyai misi tafaqquh fiddien, artinya
lembaga pendidikan yang bertujuan khusus mempelajari agama. Pada pesantren
tradisional misi ini dijabarkan secara kurikuler dalam bentuk kajian kitab
kuning yang terbatas pada Fiqih, Aqidah, Tata Bahasa Arab, Hadith, Tasawwuf
dan Tarekat, Akhlak, dan Sirah. Sementara itu bagi pesantren modern missi ini
diwujudkan dalam bentuk kurikulum yang diorganisir dengan menyederhanakan
kandungan kitab kuning sehingga bersifat madrasi dan melengkapinya
dengan mata pelajaran ilmu-ilmu yang biasa disebut "ilmu pengetahuan
umum". Pesantren tradisional yang mengkhususkan diri pada kajian ilmu fardhu
‘ain terpaksa mengorbankan ilmu fardhu kifayah
dalam pengertian 'ulum al-naqliyyah. Bahkan kajian ilmu fardhu ‘ain dengan kekayaan kitabnya itu belum dapat memainkan perannya
yang berarti terhadap kajian disiplin ilmu fardhu kifayah di lembaga pendidikan Islam lainnya
atau pendidikan sekuler. Selain itu karena kelemahan metodologis pesantren
tradisional takhassus pada satu bidang ilmu tertentu terlalu kaku,
sehingga menyulitkan kerja-kerja integrasi ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Di pesantren ini sangat sedikit
sekali, atau bahkan mungkin tidak ada, kajian ‘ulum al aqliyah seperti
logika, filsafat, metafisika, kalam, kedokteran dan lain-lain.
Ringkasnya, secara umum pembagian hirarki ilmu fardhu ‘ain dan fardhu
kifayah tidak nampak jelas, bahkan ilmu fardhu kifayah yang
melibatkan kajian tentang alam dan hakekat manusia hampir tidak mendapat tempat
dalam kurikulum pesantren tradisional itu sendiri.
Pesantren modern yang memahami tafaqquh fi al-dien dalam bentuk gabungan ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah memang berhasil memberikan wawasan
yang lebih luas dibanding pesantren tradisional, namun sesungguhnya gabungan
itu bukan merupakan hasil integrasi 'ulum al-naqliyyah dan 'ulum
al-'aqliyyah yang didesain secara konseptual. Mata pelajaran Fisika
misalnya masih belum dikaitkan dengan mata pelajaran Usuluddin, mata pelajaran
Sejarah Dunia tidak mengandung Sejarah Islam atau peranan ummat Islam dalam
sejarah dunia dan sebagainya. Jadi kurikulum pesantren modern bukan merupakan
hasil dari konsep ilmu yang integral, tapi lebih merupakan kajian serempak ilmu
fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Jadi, masih terbuka kemungkinan
akan adanya pandangan dikotomis para santrinya. Meskipun begitu sebenarnya
dengan sistem madrasi-nya yang mengharuskan pengajaran banyak
materi mabadi’ al ‘ulum (ilmu-ilmu kunci) pesantren modern berpotensi
untuk memproduk generalis dan lebih kondusif untuk menanamkan pandangan hidup
Islam dibanding pesantren tradisional. Kedua sistem pendidikan pesantren ini
sebenarnya sama-sama memiliki potensi untuk diarahkan mengkaji ilmu pengetahuan
Islam secara integral. Namun hal itu tergantung kepada kapasitas kyai, ulama
dan asatidzah-nya.
2)
Sistem Pendidikan Madrasah
Sistem pendidikan madrasah yang
dikembangkan pemerintah sebenarnya diharapkan mampu menciptakan pelajar-pelajar
yang mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum sekaligus.[10]
Sistem pendidikan madrasah mulanya didesain sebagai konvergensi kurikulum
pendidikan pondok dan sekolah umum yang sedikit banyak serupa dengan kurikulum
pesantren modern. Namun pengembangan program-program khusus atau jurusan
tertentu yang memisahkan ilmu fardhu
‘ain dan
ilmu fardhu kifayah dengan tanpa konsep yang jelas, peran
madrasah dalam mengeliminir dikhotomi ilmu dalam pendidikan Islam semakin tidak
nampak. Di sisi lain kegagalan sistem madrasah juga dapat dilihat dari fakta
dimana prestasi kebanyakan murid-murid madrasah dalam bidang "ilmu-ilmu
agama" masih tertinggal jauh dari prestasi santri-santri pondok pesantren
dan dalam bidang "ilmu-ilmu umum" pula mereka tidak bisa mengimbangi
prestasi murid-murid sekolah umum. Selain itu, sejauh ini nampaknya ilmu
pengetahuan umum (sekuler) tidak diajarkan dalam perspektif ilmu agama.
3)
Sistem Perguruan tinggi Islam
Terlepas dari peran kemasyarakatan yang dimainkan oleh
sistem pesantren, kekurangan yang paling menonjol adalah ketidakmampuan
keduanya dalam mengembangkan tingkat tingginya atau perguruan tingginya. Yakni
perguruan tinggi yang khas dibangun sebagai kelanjutan tradisi intelektual
Islam atau sekurang-kurangnya dibangun berdasarkan pada tradisi keilmuan di
pesantren. Padahal dulu hampir semua pesantren memiliki program tingkat
tingginya, yang di pesantren tradisional disebut ‘ulya dan di pesantren
modern disebut pesantren tinggi, meskipun tidak dilembagakan secara
formal. Program itu kini sudah sangat jarang, walaupun tidak boleh dikatakan
tidak ada. Kini di beberapa pesantren program itu telah diganti dengan sekolah
tinggi atau institut yang mengikuti kurikulum Departemen Agama yang sebenarnya
bukan sepenuhnya merupakan kelanjutan dari kurikulum pesantren. Ada pula
pesantren yang mendirikan universitas dengan fakultas yang mengikuti kurikulum
Departmen Pendidikan dan Kebudayaan. Isi dan produknya tentu yang tidak jauh
beda dengan universitas umum. Gagasan dan usaha untuk menghidupkan program Ma'had
'aly sebagai lanjutan pendidikan pesantren ternyata terhalang oleh
kemiskinan konsep dan sumber daya manusia.
Jenjang pendidikan tinggi dalam bentuk institut atau
universitas yang merupakan lanjutan bagi kajian ilmu-ilmu keislaman di
pesantren nampaknya belum terwujud. Akibatnya khazanah ilmu pengetahuan Islam
tidak dikaji secara intensif, apalagi dikaji dan difahami dalam konteks
kekinian. Di Universitas-universitas Islam fakultas-fakultas agama (fardhu
‘ain tidak berperan menjadi rujukan atau menjadi asas bagi fakultas-fakultas
umum (fardhu kifayah), ia justru
dimarjinalkan.
[1] Ibn Khaldun, Muqaddimah,
hal. 343-400
[2] Cemil Akdogan, “Ghazzzali, Descartes, and Hume: The
Geneology of Some Philosophical Ideas” dalam Islamic Studies, vol. 42, Autumn 2003.
[3] Al-Attas,
SMN, Risalah Untuk Kaum Muslimin, ISTAC, Kuala Lumpur, 2001, hal. 129.
[4] Al-Attas, Syed Muhammad
Naquib, Islam and Secularism, ISTAC, 1993, hlm 134.
[5]
Troger Garaudy, Janji-Janji Islam, terjemahan (Jakarta, Bulan Bintang,
1982, hal 222-223)
[6]
Sekularisme moderat menganggap agama sebagai urusan pribadi dan rohani manusia
dan karena itu tidak boleh dicampur adukkan dengan urusan keduniaan yang berupa
ilmu, politik, pertanian dll, sedangkan sekularisme ekstrim menganggap agama
sebagai musuh masyarakat, tapi yang jelas keduanya menolak peran agama dalam
kehidupan. Muhammad al-Bahi, Penentangan
Islam terhadap Aliran Perosak, terjemahan bahasa Malaysia (Kuala Lumpur,
Penerbit Hizbi, 1985 hal 52).
[7] Relativisme dan nihilisme adalah doktrin tentang nilai yang
dipergunakan para pemikir post-modern untuk menggugat agama. Programnya adalah
penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi
yang mengagungkan otoritas. Lihat Gianni Vattimo, The End of Modernity,
halaman 167, dalam karyanya Will To Power, ia menyatakan bahwa “Truth is the kind of error”, lihat
Nietzsche, Friedrich, The Will To Power, lihat halaman 493.
[8]
Atho Mudzhar, H.M,. Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori dan Praktek,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.
[9] Untuk
pemabahsan lebih detail lihat Wan Mohd Nur Wan Daud, The Educational
Philosophy, hal. 71.
[10] Dalam konteks Islam, sebenarnya tidak ada
istilah ‘ilmu-ilmu umum,’ sebab Islam menjadikan semua aspek, keperluan dan
aktifitas kehidupan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Dipakainya istilah
ilmu-ilmu umum dalam tulisan ini adalah semata-mata merujuk kepada
penggunaannya yang sudah begitu populer di Indonesia .
0 komentar:
Posting Komentar