skip to main | skip to sidebar

Barokah Kehidupan

Mencari Barokah Kehidupan dengan Semanfaat Mungkin untuk Sebanyak-banyak makhluk...

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)
  • Home
  • About Us
  • Archives
  • Contact Us

19 Feb 2013

Problematika Pendidikan Islam dalam Membangun Kembali Peradaban Islam

Diposting oleh Unknown di 01.08

Pendahuluan
Tradisi intelektual Islam dimulai sejak kelahiran Islam itu sendiri, secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, wahyu pertama dalam Surah Al ‘Alaq menyuruh Nabi untuk membaca (iqro’) kemudian secara berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah. Kesemuanya itu menandai lahirnya worldview Islam. Di dalam al-Qur'an terkandung konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi' tabiin dan para ulama yang datang kemudian. Konsep 'ilm yang dalam al-Qur'an bersifat umum, misalnya dipahami dan ditafsirkan para ulama sehingga memiliki berbagai definisi. Cikal bakal konsep Ilmu pengetahuan dalam Islam adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu yang ditafsirkan kedalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh. Jadi Islam adalah suatu peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks wahyu yang didukung oleh tradisi intelektual. Dari konsep 'Ilm ini pula kemudian lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadith, Falak, Hisab, Mawarits, Kalam, Tasawwuf dan sebagainya.
Dalam menggambarkan peradaban Islam Ibn Khaldun membahas secara panjang lebar, ilmu-ilmu yang berkembang dan dikembangkan di pusat-pusat kebudayaan Islam, seperti misalnya ilmu bahasa dan agama, aritmatika, aljabar, ilmu hitung dagang (bussiness arithmetic), ilmu hukum waris (fara’id), geometri, mekanik, penelitian, optik, astronomi, dan logika. Termasuk juga ilmu fisika, kedokteran, pertanian, metafisika, ramalan, ilmu kimia dan sebagainya.[1]
Konsep-konsep penting di dalam kebudayaan Barat adalah hasil adopsi dari peradaban Islam, namun kita tidak dapat mengambil kembali begitu saja konsep-konsep itu langsung dari Barat, tanpa proses –jauh panggang dari api-. Layaknya orang-orang Barat mengambil konsep-konsep itu dengan proses epistemologis yang panjang yang akhirnya menghasilkan konsep-konsep yang sudah tidak lagi dapat dikenali konsep aslinya, yaitu Islam. Hal yang sama dilakukan orang Islam ketika mengadapsi warisan Yunani. Professor Cemil Akdogan memberi contoh bahwa David Hume, yang meniru konsep dan pandangan al Ghazzali tentang hubungan kausalitas, ternyata memodifikasinya sehingga menjadi sekuler, dan hasilnya berbeda dari konsep al-Ghazzali sendiri.[2]
Peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu peradaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya berkaitan erat sekali. Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Oleh karena itulah merosotnya pendidikan adalah faktor utama dalam kemunduran peradaban Islam. Civitas akademika Islam merasa terpanggil untuk ikut berpartisipasi dalam membangun kembali peradaban Islam.
Banyak sekali ilmuwan-imuwan islam yang memikirkan, memusyawarahkan dan kemudian merumuskan solusi atas problematika pendidikan. Oleh sebab itulah Penulis merasa terpanggil untuk ikut serta berpartisipasi dalam menguraikan PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMBANGUN KEMBALI PERADABAN ISLAM.










Mengurai Permasalahan Umat
Perjalanan panjang peradaban Islam diwarnai oleh lahirnya ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang dengan prestasi dalam bidang masing-masing, ini adalah salah satu ciri terpenting peradaban Islam yaitu perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan. Salah satu pertanda kemunduran ummat Islam yang banyak disoroti adalah merosotnya prestasi cendekiawan Muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun ada pula yang menyoroti kemunduran dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Oleh karena itu, pada dekade ini banyak tokoh cendekiawan dan pemimpin Muslim yang perduli akan kemunduran ummat Islam yang mencoba menawarkan pemikiran pembaharuan atau strategi pembenahan kondisi ummat.
Al-Attas dalam Risalah Untuk Kaum Muslimin yang selesai ditulisnya pada awal tahun 1973, melihat bahwa kebanyakan pemimpin ummat Islam hanya memperhatikan kulit luar dari inti permasalahan yang menggiring ummat kedalam kancah ketidakberuntungan ini. Ia menyatakan :

Kini sudah jelas bagi kita kaum Muslimin bahwa akar masalah yang sedang kita hadapi ini sesungguhnya terletak pada masalah di sekitar pengertian ilmu. Akal pikiran kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah…orang Islam telah terpedaya dan secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan pengertian kebudayaan Barat. Mereka telah memberi pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai pandangan hidup tersendiri yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya sendiri yang berbeda dari pandangan hidup agama dan kebudayaan lain.[3]

Apa yang disimpulkan oleh al-Attas diatas adalah benar adanya. Kalau di zaman dulu problem yang dihadapi ummat Islam adalah tantangan ekstern dan intern seperti agresi militer, instabilitias politik, keterpurukan ekonomi, kerusakan moralitas masyarakat dan pemimpin, maka di zaman kita sekarang ini tantangan ekstern dan internnya lebih kompleks dan bermuara pada masalah ilmu pengetahuan.
Di sini al-Attas sangat menyadari bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan hidup Islam berkaitan sangat erat sekali. Sebab, menurutnya ilmu itu “mempengaruhi sikap hidup manusia”. Jadi kesimpulan di atas bahwa pandangan hidup adalah asas peradaban tentulah benar adanya. Dan tidak salah pula jika disimpulkan bahwa hancurnya peradaban Islam adalah karena hancurnya ilmu pengetahuan Islam.

Problematika Pendidikan Islam
Berpegang pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan pandangan hidup adalah ujung tombak dan guru suatu peradaban, maka tantangan ekternal yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah ilmu pengetahuan yang bersumber dari kebudayaan Barat. Barat sendiri adalah peradaban yang tumbuh dan berkembang dari kombinasi beberapa unsur yaitu filsafat dan nilai-nilai kuno Yunani dan Romawi, serta agama Yahudi dan Kristen yang dimodifikasi oleh bangsa Eropa.[4]
-          Faktor Eksternal
Tantangan eksternal ummat Islam dewasa ini yang berbentuk ilmu pengetahuan adalah derasnya arus pemikiran Barat yang masuk kedalam pemikiran Muslim dalam bentuk konsep-konsep kunci yang sarat dengan nilai-nalai Barat.
Identitas peradaban Barat dapat dilihat dari dua periode penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah aliran pemikiran Barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka sejak empat abad terakhir. Ringkasnya modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Selain itu modernisme yang terkadang disebut Westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dan sebagainya.[5] John Lock, salah seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan pluralisme agama adalah inti modernisme. Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam modernisme adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrim.[6] Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru seperti nihilisme,[7] relativisme, pluralisme dan persamaan gender (gender equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya. Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang menguasai dunia.
Cara pandang yang berdasarkan pandangan hidup manusia barat sudah menjamur subur dewasa ini, bisa kita lihat dari cara berfikir dikotomis yang melihat Islam dengan pandangan ganda Islam historis, Islam normatif, Islam liberal dan Islam literal, kebenaran obyektif dan kebenaran subyektif, berfikir tekstual dan kontekstual adalah cara pandang yang berdasarkan pandangan hidup manusia Barat.[8] Terbukti dengan berfikir dikotomis seperti itu para cendekiawan justru semakin kritis terhadap tradisi dan khazanah pemikiran Islam daripada mengapresiasi secara kreatif dan sikap kritisnya terhadap Barat menghilang. Tuduhan Nurcholish bahwa ummat Islam memahami tradisi seperti dogma, misalnya, bukan alasan yang tepat untuk meninggalkannya. Dalam setiap agama selalu ada unsur-unsur dogmatisnya, bahkan dalam dunia sains yang rasional sekalipun aksioma-aksioma itu dipegang melebihi agama.
Ketika muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan menggunakan pemahaman, nilai, ide, pendekatan dan bahkan terminologi Barat. Konsep yang dihasilkan, boleh jadi tidak lagi compatible dengan pandangan hidup Islam. Mulanya memang sekedar pemikiran atau konsep tapi implikasnya akan masuk ke sistem pendidikan dan akhirnya akan membentuk pandangan hidup. Jika pemikiran Muslim sudah terbaratkan, maka bidang-bidang lain akan ikut dengan sendirinya.
Untuk itu apa yang diperlukan dalam kajian Islam di Indonesia adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menguasai pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat khususnya tentang pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan teknologinya agar ummat Islam melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam konteks kekinian atau kontemporer demi mewujudkan kembali identitas peradaban Islam.
-          Faktor Internal
Problem yang pertama adalah lemahnya tradisi pengkajian ilmu-ilmu pengetahuan doktrinal maupun pengetahuan spekulatif. Kelemahan ini mengakibatkan miskinnya konsep-konsep baru yang rasional sehingga isu-isu yang dibawa oleh kelompok modernis ataupun rasionalis yang sebenarnya tidak berasal dari tradisi intelektual Islam dianggap sebagai sesuatu yang baru dan dianggap menyegarkan. Padahal ia lebih merupakan adopsi dari pandangan Barat ataupun Orientalis yang masih perlu dikritisi. Tapi lagi-lagi tradisi kritik (naqd) belum menjadi mekanisme intelektual yang mapan.
Masalah ini menjadi lebih serius lagi jika dikaitkan dengan pembentukan disiplin ilmu baru dalam Islam. Tradisi mengadakan kajian dalam satu bidang pemikiran Islam belum bisa tumbuh sebagaimana kajian dalam bidang ilmu-ilmu sekuler, karena kekurangan sumber daya manusia ataupun belum wujudnya komunitas untuk itu. Ini berarti keahlian cendekiawan kita masih belum terklassifikasikan dalam disiplin ilmu tersendiri. Satu konsep dalam satu bidang kajian masih bercampur campur dengan konsep-konsep dalam bidang lain dan bahkan konsep-konsep yang diambil dari konsep asing masih belum sempurna diasimilasikan kedalam pandangan hidup Islam. Nampaknya semua cendekiawan dapat berbicara tentang semua masalah karena dianggap mengerti semua masalah, sehingga kita sulit menemukan seorang cendekiawan yang menekuni satu bidang khusus dan menghasilkan konsep-konsep Baru. Dalam perkembangan selanjutnya ketika masyarakat ilmiah semakin dewasa dalam memahami Islam spesialisasi dalam suatu bidang ilmu agama menjadi tuntutan masyarakat yang tidak dapat dihindarkan dan dari situ akan muncul disiplin ilmu Baru dalam Islam yang lahir dari pandangan hidup Islam.
Oleh sebab itu, Imam al-Ghazzali dalam kitab masterpiece beliau al Ihya Ulumudiin mencanangkan klasifikasi ilmu yang berupa fardhu ‘ain dan fardu kifayah dapat dikembangkan dalam konteks kekinian. Ilmu fardhu ‘ain dapat diartikan sebagai ilmu wajib individual bagi mahasiswa atau pelajar Muslim yang berupa ilmu-ilmu agama yang asasi tergantung tingkat pendidikannya. Tingkat universitas misalnya tafsir, hadits, fiqih, teologi (ilmu Kalam), metafisika dapat dimasukkan kedalam ilmu fardhu ‘ain. Ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang tidak mesti dituntut oleh semua Muslim, termasuk di dalamnya ilmu manusia, ilmu alam, ilmu terapan, perbandingan agama, kebudayaan Islam dan Barat, ilmu bahasa dan sastra, sejarah Islam dsb.[9] Pembagian ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah ini tidak perlu difahami secara dikotomis, karena ia hanyalah pembagian hirarki ilmu pengetahuan berdasarkan kepada tingkat kebenarannya. Ia harus dilihat dalam perspektif kesatuan integral, di mana yang pertama merupakan asas dan rujukan bagi yang kedua.
Tapi masalahnya dalam kurikulum pendidikan Islam, pengajaran ilmu-ilmu fardhu ‘ain yang berhubungan dengan keimanan dan kewajiban-kewajiban individu berhenti pada jenjang pendidikan rendah atau menengah dan tidak dilanjutkan pada tingkat universitas. Konsep hirarki ilmu pengetahuan ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah itu belum banyak dikenal di kalangan lembaga pendidikan Islam, jikapun dikenal ia masih banyak disalahpahami atau masih belum dikonseptualisasikan serta dipraktekkan secara akademis. Pembagian ini perlu ditekankan pada jenjang perguruan tinggi. Sebab masalahnya berkaitan dengan konsep ilmu (epistemologi).
Untuk mengidentifikasi problem ilmu pengetahuan pada lembaga pendidikan Islam, khususnya di Indonesia ada baiknya dibahas situasi pada 3 institusi pendidikan Islam, yaitu pesantren, madrasah dan perguruan tinggi Islam.
1)      Sistem pendidikan pesantren  
Pesantren di Indonesia terdiri dari dua sistem yaitu tradisional dan modern. Keduanya mempunyai misi tafaqquh fiddien, artinya lembaga pendidikan yang bertujuan khusus mempelajari agama. Pada pesantren tradisional misi ini dijabarkan secara kurikuler dalam bentuk kajian kitab kuning yang terbatas pada Fiqih, Aqidah, Tata Bahasa Arab, Hadith, Tasawwuf dan Tarekat, Akhlak, dan Sirah. Sementara itu bagi pesantren modern missi ini diwujudkan dalam bentuk kurikulum yang diorganisir dengan menyederhanakan kandungan kitab kuning sehingga bersifat madrasi dan melengkapinya dengan mata pelajaran ilmu-ilmu yang biasa disebut "ilmu pengetahuan umum". Pesantren tradisional yang mengkhususkan diri pada kajian ilmu fardhu ‘ain terpaksa mengorbankan ilmu fardhu kifayah dalam pengertian 'ulum al-naqliyyah. Bahkan kajian ilmu fardhu ‘ain dengan kekayaan kitabnya itu belum dapat memainkan perannya yang berarti terhadap kajian disiplin ilmu fardhu kifayah di lembaga pendidikan Islam lainnya atau pendidikan sekuler. Selain itu karena kelemahan metodologis pesantren tradisional takhassus pada satu bidang ilmu tertentu terlalu kaku, sehingga menyulitkan kerja-kerja integrasi ilmu fardhu ‘ain  dan fardhu kifayah. Di pesantren ini sangat sedikit sekali, atau bahkan mungkin tidak ada, kajian ‘ulum al aqliyah seperti logika, filsafat, metafisika, kalam, kedokteran dan lain-lain. Ringkasnya, secara umum pembagian hirarki ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah tidak nampak jelas, bahkan ilmu fardhu kifayah yang melibatkan kajian tentang alam dan hakekat manusia hampir tidak mendapat tempat dalam kurikulum pesantren tradisional itu sendiri.
Pesantren modern yang memahami tafaqquh fi al-dien dalam bentuk gabungan ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah memang berhasil memberikan wawasan yang lebih luas dibanding pesantren tradisional, namun sesungguhnya gabungan itu bukan merupakan hasil integrasi 'ulum al-naqliyyah dan 'ulum al-'aqliyyah yang didesain secara konseptual. Mata pelajaran Fisika misalnya masih belum dikaitkan dengan mata pelajaran Usuluddin, mata pelajaran Sejarah Dunia tidak mengandung Sejarah Islam atau peranan ummat Islam dalam sejarah dunia dan sebagainya. Jadi kurikulum pesantren modern bukan merupakan hasil dari konsep ilmu yang integral, tapi lebih merupakan kajian serempak ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Jadi, masih terbuka kemungkinan akan adanya pandangan dikotomis para santrinya. Meskipun begitu sebenarnya dengan sistem madrasi-nya yang mengharuskan pengajaran banyak materi mabadi’ al ‘ulum (ilmu-ilmu kunci) pesantren modern berpotensi untuk memproduk generalis dan lebih kondusif untuk menanamkan pandangan hidup Islam dibanding pesantren tradisional. Kedua sistem pendidikan pesantren ini sebenarnya sama-sama memiliki potensi untuk diarahkan mengkaji ilmu pengetahuan Islam secara integral. Namun hal itu tergantung kepada kapasitas kyai, ulama dan asatidzah-nya.

2)      Sistem Pendidikan Madrasah
Sistem pendidikan madrasah yang dikembangkan pemerintah sebenarnya diharapkan mampu menciptakan pelajar-pelajar yang mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum sekaligus.[10] Sistem pendidikan madrasah mulanya didesain sebagai konvergensi kurikulum pendidikan pondok dan sekolah umum yang sedikit banyak serupa dengan kurikulum pesantren modern. Namun pengembangan program-program khusus atau jurusan tertentu yang memisahkan ilmu fardhu ‘ain  dan ilmu fardhu kifayah  dengan tanpa konsep yang jelas, peran madrasah dalam mengeliminir dikhotomi ilmu dalam pendidikan Islam semakin tidak nampak. Di sisi lain kegagalan sistem madrasah juga dapat dilihat dari fakta dimana prestasi kebanyakan murid-murid madrasah dalam bidang "ilmu-ilmu agama" masih tertinggal jauh dari prestasi santri-santri pondok pesantren dan dalam bidang "ilmu-ilmu umum" pula mereka tidak bisa mengimbangi prestasi murid-murid sekolah umum. Selain itu, sejauh ini nampaknya ilmu pengetahuan umum (sekuler) tidak diajarkan dalam perspektif ilmu agama.

3)      Sistem Perguruan tinggi Islam
Terlepas dari peran kemasyarakatan yang dimainkan oleh sistem pesantren, kekurangan yang paling menonjol adalah ketidakmampuan keduanya dalam mengembangkan tingkat tingginya atau perguruan tingginya. Yakni perguruan tinggi yang khas dibangun sebagai kelanjutan tradisi intelektual Islam atau sekurang-kurangnya dibangun berdasarkan pada tradisi keilmuan di pesantren. Padahal dulu hampir semua pesantren memiliki program tingkat tingginya, yang di pesantren tradisional disebut ‘ulya dan di pesantren modern disebut pesantren tinggi, meskipun tidak dilembagakan secara formal. Program itu kini sudah sangat jarang, walaupun tidak boleh dikatakan tidak ada. Kini di beberapa pesantren program itu telah diganti dengan sekolah tinggi atau institut yang mengikuti kurikulum Departemen Agama yang sebenarnya bukan sepenuhnya merupakan kelanjutan dari kurikulum pesantren. Ada pula pesantren yang mendirikan universitas dengan fakultas yang mengikuti kurikulum Departmen Pendidikan dan Kebudayaan. Isi dan produknya tentu yang tidak jauh beda dengan universitas umum. Gagasan dan usaha untuk menghidupkan program Ma'had 'aly sebagai lanjutan pendidikan pesantren ternyata terhalang oleh kemiskinan konsep dan sumber daya manusia.
Jenjang pendidikan tinggi dalam bentuk institut atau universitas yang merupakan lanjutan bagi kajian ilmu-ilmu keislaman di pesantren nampaknya belum terwujud. Akibatnya khazanah ilmu pengetahuan Islam tidak dikaji secara intensif, apalagi dikaji dan difahami dalam konteks kekinian. Di Universitas-universitas Islam fakultas-fakultas agama (fardhu ‘ain tidak berperan menjadi rujukan atau menjadi asas bagi fakultas-fakultas umum (fardhu kifayah), ia justru dimarjinalkan.


[1] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hal. 343-400
[2] Cemil Akdogan, “Ghazzzali, Descartes, and Hume: The Geneology of Some Philosophical Ideas” dalam Islamic Studies, vol. 42, Autumn 2003.
[3] Al-Attas, SMN, Risalah Untuk Kaum Muslimin, ISTAC, Kuala Lumpur, 2001, hal. 129.
[4] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, ISTAC, 1993, hlm 134.
[5] Troger Garaudy, Janji-Janji Islam, terjemahan (Jakarta, Bulan Bintang, 1982, hal 222-223)
[6] Sekularisme moderat menganggap agama sebagai urusan pribadi dan rohani manusia dan karena itu tidak boleh dicampur adukkan dengan urusan keduniaan yang berupa ilmu, politik, pertanian dll, sedangkan sekularisme ekstrim menganggap agama sebagai musuh masyarakat, tapi yang jelas keduanya menolak peran agama dalam kehidupan. Muhammad al-Bahi, Penentangan Islam terhadap Aliran Perosak, terjemahan bahasa Malaysia (Kuala Lumpur, Penerbit Hizbi, 1985 hal 52).
[7] Relativisme dan nihilisme adalah doktrin tentang nilai yang dipergunakan para pemikir post-modern untuk menggugat agama. Programnya adalah penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Lihat Gianni Vattimo, The End of Modernity, halaman 167, dalam karyanya Will To Power, ia menyatakan bahwa “Truth is the kind of error”, lihat Nietzsche, Friedrich, The Will To Power, lihat halaman 493.
[8] Atho Mudzhar, H.M,. Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.
[9] Untuk pemabahsan lebih detail lihat Wan Mohd Nur Wan Daud, The Educational Philosophy, hal. 71.
[10] Dalam konteks Islam, sebenarnya tidak ada istilah ‘ilmu-ilmu umum,’ sebab Islam menjadikan semua aspek, keperluan dan aktifitas kehidupan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Dipakainya istilah ilmu-ilmu umum dalam tulisan ini adalah semata-mata merujuk kepada penggunaannya yang sudah begitu populer di Indonesia.

Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Menjadi Developer Property Itu Mudah !!!

Panduan Developer Property Banner 200x600b

Raja Perumahan

Panduan Developer Property Banner 300x300a

Kursus Kilat Bisnis Property

Panduan Developer Property Banner 300x250b

Outline Psikologi Agama 2013

DOWNLOAD

Buku Ilmu Jiwa Agama

DOWNLOAD

Raja Property

Panduan Developer Property Banner 200x600b

My Personality Site

My Personality Site
Memilih Belajar dan Mengajar sebagai Jalan Hidup

Mengenai Saya

Unknown
Lihat profil lengkapku

SAVE OUR WORLD

Visitors

animasi bergerak naruto dan onepiece
My Widget
السلام عليكم

Blog Archive

  • ▼  2013 (83)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (26)
    • ►  Maret (24)
    • ▼  Februari (21)
      • Bank "Syari'ah"
      • Kisah Nyata: "Satu Gereja Masuk Islam"
      • Dialog dengan Dalai Lama
      • Uniknya Kepangkatan Dosen di Indonesia
      • Inpassing Kepangkatan Dosen Non PNS
      • Inpassing Pangkat Dosen Bukan PNS
      • Pengobatan ala Nabi
      • Sebijak Mario Teguh
      • Nasehat Aa Gym
      • Nasehat Aa Gym
      • Resep bikin empek2 yg enak
      • Monggo cikedot PES 2013 keygen
      • HTI... Aku kecewa padamu !!!
      • Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan
      • Islamisasi Kurikulum
      • Cara Membuat Buku Teks Pelajaran
      • Download Kitab Terjemahan Bahasa Indonesia Downlo...
      • Problematika Pendidikan Islam dalam Membangun Kemb...
      • cara mendownload video dari youtube
      • Unduh OFFICE 2010 gratiissss !!!!!!!!!
      • Jutawan Baru dari Bisnis Pesawat Online
Diberdayakan oleh Blogger.

Belajar Bisnis Property

Panduan Developer Property Banner 200x600b
 

© 2010 My Web Blog
designed by DT Website Templates | Bloggerized by Agus Ramadhani | Zoomtemplate.com